Jumat, 07 September 2007
Buletin Suara pembebasan, tgl.7 / Sept / 2007, Menyambut Bulan Suci Ramadhan
Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Bulan Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan Allah SWT sebentar lagi datang. Shaum atau ibadah puasa bulan Ramadhan adalah salah satu aturan Allah untuk mengantarkan kaum muslimin menjadi manusia bertaqwa (lihat TMQ. Al Baqarah.183).
Namun, sayang, dalam pelaksanaannya, Ramadhan yang sejatinya menjadi bulan ibadah sekaligus syi'ar kesatuan umat itu ternoda oleh seringkali berbedanya awal dan akhir Ramadlan.

Perbedaan itu konon merupakan masalah lama yang acap kali terjadi di dunia Islam, antara satu negara dengan negara lain, bahkan satu kota dengan kota lain.
Namun di era globalisasi informasi dan canggihnya teknologi komunikasi ini, perbedaan itu mengusik nurani kita. Betapa siaran langsung solat tarawih dari Masjidil Haram sepanjang bulan Ramadhon dapat diikuti oleh kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di sini RCTI, dll !!!

Tapi kenapa, tak boleh diadakan siaran langsung informasi "rukyatul hilal" awaldan akhir Ramadhan? Padahal bulan sabit (hilal) yang menjadi objek yang diamati guna menentukan masuknya bulan baru adalah bulan yang satu, ya bulan sabit yang itu-itu juga? Dimana sebenarnya letak permasalahan nya? Tulisan ini akan mengurainya dalam rangka menjaga kesatuan umat dan kesucian ibadah kita.

Rukyatul Hilal Penentu Awal Ramadlan dan Aidil Fitri

Shaum Ramadhan, Aidil Fitri, dan Aidil Adha di samping merupakan ibadah yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Rabb-nya, sesungguhnya juga merupakan salah satu fenomena yang menjadi syi'ar kesatuan umat Islam. Kaum muslimin wajib memulai puasa dan merayakan Aidil Fitri secara serentak pada hari yang sama, semata-mata demi melaksanakan perintah Allah SWT yang telah mempersatukan mereka. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Misalnya, sabda baginda Rasulullahsaw.: “Berpuasalah kalian jika melihat hilal (bulan sabit), dan berbukalah (beraidil Fitri lah) kalian jika melihat hilal. Dan jika hilal itu tertutup debu dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangan bulan Sya'ban itu tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dari AbuHurairah).

“Sesungguhnya satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal). Dan jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.” (HR. Bukhari)

Hadis-hadis Rasul ini mengandung pengertian (dalalah) yang jelas (sharih), bahawa sebab syar'ie untuk mengawali Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul hilal) untuk bulan Ramadhan. Demikian pula sebab syar'ie untuk Aidil Fitri adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul hilal) untuk bulan Syawal. Ini seperti sebab pelaksanaan solat zuhur adalah tegelincirnya matahari sebagaimana sabda Nabi saw.: “Jika matahari telah bergeser dari tengah-tengah langit, maka solatlah (zuhur)” (lihat An Nabhani, As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz III/43).

Hisab Sekadar Membantu

Sebagian orang salah anggap bahwa dengan majunya ilmu hisab falaki (astronomi) maka kaum muslimin tak perlu merukyat untuk menentukan awal dan akhir Ramadlan. Bahkan mereka memutarbelit kata rukyat dalam hadis tersebut sebagai “rukyat bil ilmi” yakni ilmu hisab. Tentu hal itu tak boleh dibenarkan kerana tak ada indikasi (qorinah) yang menunjukkannya. Sehingga, perkataan Nabi SAW “Jika hilal tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian”, ertinya, jika kalian tidak melihat hilal dengan mata kalian (bi a'yunikum). Adapun perkataan Nabi SAW “maka perkirakanlah ia” bukan bererti merujuk pada perhitungan astronomi (hisab). Melainkan ertinya adalah menyempurnakan bilangan bulan sebanyak 30 hari. Sabda Nabi SAW:

“Dan jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangannya menjadi tiga puluh hari.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Jadi, hisab astronomi paling modern sekalipun tak boleh menjadi penentu awal dan akhir Ramadhan. Sebab, Allah SWT memerintahkan memulai puasa Ramadhan dan Aidil Fitri berdasarkan rukyatul hilal. Dan aturan ibadah itu datangnya mesti dari Dzat Yang diibadahi (Al Ma'bud), muslim pun diperintahkan untuk terikat dengan hukum syara.

Kalau begitu, apa gunanya kemajuan ilmu astronomi bagi menjalankan ibadah Ramadlan?

Mengingat realiti perhitungan hisab modern (hisab haqiqiy tahqiqiy) kecil sekali kesalahan perhitungannya, yakni sebesar 2 detik dalam 4000 tahun, dan akurasinya pun diamati observer setiap bulan melalui peralatan canggih, juga terbukti . amat jarangnya kapal dalam perjalanan tersesat, dugaan-dugaan akan gerhana bulan dan matahari yang tepat, maka perlu dipertimbangkan pengunaannya dalam membantu mencari tempat strategi untuk rukyat di seluruh dunia.

Peranan ilmu hisab sebagai alat bantu ini, lantaran secara riil ilmu hisab hanya dapat menentukan wujudnya hilal dan kemungkinan dapat terlihatnya hilal. Sebaliknya, hisab tidak dapat menetapkan terlihat atau tidaknya bulan. Tambahan lagi, seperti dinyatakan oleh para ahli astronomi, hisab tidak dapat mendeteksi iklim dan cuaca. Oleh sebab itu, betapapun akuratnya perhitungan hisab moden tetap saja tidak dapat dijadikan rujukan tentang rukyatul hilal. Dia hanya sekadar membantu memudahkan rukyat, bukan malah menolak atau mementahkan rukyat.

Jadi, baik secara syar'ie maupun berdasarkan realiti, penentuan awal dan akhir Ramadlan tidak dapat tidak harus melalui penglihatan terhadap munculnya hilal (rukyatul hilal). Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah kalian. Dan jika kalian telah melihat hilal, maka berbukalah (beraidul Fitri) kalian. Jika hilal tertutup awan/mendung atas (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.”

Perintah (amr) Rasulullah SAW dalam hadis-hadis untuk memulai puasa Ramadhan berdasarkan rukyatul hilal adalah perintah wajib (lil wujub), kerana perintah tersebut adalah perintah untuk melaksanakan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh firman Allah SWT :

“Kerana itu barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa.” (TMQ. Al Baqarah : 185)

Perintah (amr) untuk berbuka puasa (beraidil Fitri) berdasarkan rukyatul hilal adalah juga perintah wajib (lil wujub). Kerana Rasulullah SAW telah melarang berpuasa pada dua hari raya, iaitu Aidil Fitri dan Aidil Adha. Mengingat larangan ini adalah larangan untuk melaksanakan yang mandub atau fardhu, maka perintah Rasulullah di dalam hadis “dan berbukalah (beridul Fitri) kalian jika melihat hilal” berarti adalah perintah wajib (lil wujub).

Satu Rukyat Untuk Kaum Muslimin Sedunia

Khithabusy Syari' (seruan Allah SWT) dalam hadis-hadis di atas ditujukan bagi seluruh kaum muslimin. Tak ada beanya antara orang Syam dan orang Hijjaz. Begitu pula tak ada bezanya antara orang Malaysia dengan orang Palestin Sebab, lafaz-lafaz dalam hadis-hadis tersebut bersifat umum. Dhamir jama'ah (kata ganti berupa wawu jama') yang terdapat dalam kalimat “berpuasalah kalian” (shuumuu) dan “dan berbukalah kalian” (wa afthiruu), tertuju untuk seluruh kaum muslimin. Sedangkan lafazh “melihat hilal” (ru'yatihi) adalah isim jinsi yang di-idhafat-kan (disandarkan) pada dhamir (kata ganti). Ini menunjukkan bahwa rukyatul hilal yang dimaksud, adalah ru`yat dari siapa saja, selama dia muslim. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA :

“Bahawa seorang Arab Baduwi datang kepada Rasulullah SAW. seraya berkata, 'Saya telah melihat hilal (Ramadhan).' Rasulullah saw. lalu bertanya, 'Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?' Orang itu menjawab,'Ya.' Kemudian Nabi SAW menyerukan, “Berpuasalah kalian!” (HR. Abu Dawud, An Nasa`i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Oleh kerana itu, jika seorang muslim telah melihat hilal untuk bulan Ramadhan maupun Syawal, di manapun ia berada, maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk berpuasa ataupun berbuka (beraidul Fitri). Tidak ada perbezaan antara satu negara dengan negara lainnya, atau antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Sebab ru`yatul hilal oleh siapa saja dari kaum muslimin, merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihat hilal.

Menolak rukyat lantaran beza negara?

Kini kaum muslimin hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap ketua negara menetapkan awal dan akhir Ramadlannya sendiri-sendiri tanpa lagi
memperhatikan nash-nash syara'. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqoha, nampaknya dijadikan sebagai dalil sekunder. Dalil primernya adalah kekuasaan mereka atas wilayah negara mereka, dan fanatisme mereka terhadap negara dan bangsa mereka. Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni. Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 220 juta terpecah dalam sekitar 20 negara? Kita di Malaysia prihatin atas gejala disintegrasi yang boleh memecah negara ini menjadi lebih dari 20 negara! Bukankah mestinya 1,5 milion kaum muslimin ini mestinya hidup dalam satu naungan negara?!

Mengenai ikhtilaaful mathaali' (perbezaan mathla', iaitu tempat/waktu terbitnya hilal) -- yang digunakan sebagian orang sebagai alasan (untuk berbeza dalam berpuasa dan beriadul Fitri)— adalah merupakan manath (fakta untuk penerapan hukum) yang telah dikaji oleh para ulama terdahulu. Fakta saat itu, kaum muslimin memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal ke seluruh penjuru wilayah negara Khilafah Islamiyah yang amat luas dalam satu hari, kerana alat komunikasi yang terbatas. Namun, kini fakta telah berubah. Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla) digunakan menjadi tidak logik.

Dalam konsep mathla, setiap daerah yang berjarak 16 farsakh atau 120 km memiliki mathla sendiri. Ertinya, penduduk Jakarta dan sekitarnya dalam radius 120 km hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tapi terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu. Penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Tanjung Kodok tanpa perlu terikat rukyat di Makassar dan seterusnya. Dengan konsep mathla' wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu akan terbagi menjadi 43 mathla'.

Kerana kesulitan itu, menurut KH. Sahal Mahfudz, NU pindah madzhab (intiqalul madzhab). Sayangnya tidak pindah ke madzhab jumhur, yakni satu rukyat untuk seluruh dunia., melainkan membuat 'madzhab' baru yakni wilayatul hukmi, yakni . penyamaan awal dan akhir Ramadlan diserahkan pada negara nasional masing-masing, Pertanyaan kita, apa landasan syar'i yang membolehkan wilayah kaum muslimin terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yakni lebih dari 50 wilayatul hukmi? Bukankah Islam hanya mengajarkan satu wilayatul hukmi untuk seluruh dunia, yakni yang dipimpin oleh Imam Al A'zham, alias Khalifah! Rasulullah saw. bersabda:

“Jika dibai'at dua khalifah (kepala negara penguasa wilayatul hukmi), maka bunuhlah yang kedua (jika tak mau meletakkan jabatan)” (HR. Muslim).

Bilakah umat Islam akan bersatu? .



Label: ,

 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 11.22 | Permalink |


0 Comments: