Sabtu, 08 Desember 2007
Islam, Warisan Istimewa yang Diabaikan Barat
Roger Garaudy, intelektual terkemuka asal Perancis, punya “angan-angan” menarik dan futuristik. Menurutnya, andai saja Barat memilih dan menerima Islam sebagai sistem atau pandangan hidup (wordview), maka Barat tidak akan melakukan penjajahan di dunia Islam.

Selain itu, bangsa-bangsa Barat juga tidak akan menggelar perang dan merampas hak-hak kehidupan bangsa lain, terutama umat Islam. Inilah nasib tragis yang dialami Barat hingga kini. Mereka ingin dan terus ingin menjajah bangsa-bangsa Muslim dengan berbagai cara dan pola.

Tiap tahun mereka merekayasa hegemoni bangsa-bangsa Muslim yang dianggap sebagai ancaman kepentingan Barat. Mengenai hal ini, kita bisa melihat bagaimana mereka (Amerika Serikat/AS, Inggris, Perancis, Italia, Belanda, Jerman, dan Negara-negara sekutu lainya) bersatu pada memecah wilayah-wilayah Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Sekitar 2001, seorang tokoh pendidikan keturunan Arab pernah bercerita, AS berharap tahun 2002 Indonesia mengalami Balkanisasi.

Bangsa Barat bersikap serakah terhadap masyarakat Islam, menurut Garaudy, karena mereka memilih renaisans (kelahiran kembali) atau- dalam bahasa orientalis aufklarung (pencerahan)- Italia dibanding memilih renaisans Islam.

Padahal, bila ditelisik masa renaisans Islam lebih dulu lahir di Barat. Tepatnya di Spanyol. Sayangnya renaisans di Spanyol diabaikan Barat, dan mereka memilih renaisans Italia. “Masa kelahiran kembali (renaisans) Barat telah terjadi di Spanyol Islam-ketika Bani Ummayah berkuasa- empat abad sebelum renaisans di Italia, ” terang Gaurady (Roger Garaudy, Promesess de l’Islam, 1981. Alih bahasa Prof. Dr. H. M. Rasyidi).

Ketika Islam masuk di Gibaltar (Jabal Thariq), Spanyol, oleh pasukan Islam di bawah komando Ziyad ibn Thariq, banyak masyarakat Barat yang memilih menjadi Muslim. Sementara mereka yang tetap pada agama Kristen dilindungi kendati mereka tidak memeluk Islam. Tidak ada gereja yang dihancurkan, dan rumah-rumah mewah mereka tetap dibiarkan berdiri.

Setelah Islam diterima di kawasan ini, di tempat ini pula muncul ulama, filsuf, hukama, qadli, dan ilmuan-ilmuan masyhur dan penting yang telah menyumbangkan ilmu-ilmu mereka kepada Barat. Di sini kita bisa menyebut Ibn Rusyd (pakar perbandingan fiqh dan filfasat, Al-Qurtubi (mufasir), dan lainnya di berbagai tempat.

Lembaga pendidikan tinggi setingkat universitas (jami’ah) dan jabatan profesional dalam ilmu adalah temuan muslim. Pengangkatan atau wisuda seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan dan lulus ujian telah menjadi tradisi sejak didirikan universitas tertua di dunia Al-Azhar di Kairo. Tradisi ini mengajarkan bahwa sang murid sudah berhak untuk menjadi muallim (pengajar).

Klasifikasi materi buku-buku di perpustakaan besar memunculkan berbagai karya referensi dan karya bibliografi. Karya ensiklopedi pertama adalah buatan Ikhwan al-Shafa tahun 983 M, tapi Marshal Cavendish-lah 800 tahun kemudian yang dianggap sebagai penemu ensiklopedia hanya karena ia bangsa Barat dan menyusunnya dalam bahasa Inggris.

Ilmu pengetahuan yang maju, peradaban yang tinggi dan perpustakaan besar dengan beribu-ribu buku telah menarik begitu banyak ilmuan dari seluruh penjuru dunia tak terkecuali ilmuan Barat yang sengaja belajar ke pusat-pusat peradaban Islam tersebut. Pada gilirannya para ilmuan Barat yang pulang kembali ke negerinya menjadi sebab munculnya renaisans di Barat.

Methode ilmiah adalah sumbangan peradaban Islam terbesar pada pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam laporan laboratorium Al-Battani (w. 929M), Al-Biruni (w. 1048M) dan Ibnu Haitsam (w. 1039M), kita bisa jumpai penjelasan dan penggunaan methode tersebut. Tapi yang dianggap penemu methode ilmiah adalah Roger Bacon karena ia mensekulerkan ilmu pengetahuan dengan methode ilmiah tersebut.

Di bidang matematika, Al-Khwarizmi (w. 850) menemukan algoritma (diambil dari namanya) dan aljabar (dari judul bukunya berjudul Al-Jabr wa al-Muqobbala), 300 tahun kemudian dunia Barat mengenal angka nol dan mengadopsi angka Arab dan meninggalkan sistem angka romawi yang rumit dan tak bertele-tele. Sunguhpun kini aljabar dan algoritma wajib diajarkan, tak ada sejarah yang diajarkan di kelas sekedar menuliskan nama Al-Khwarizmi sebagai penghormatan.

Hal serupa terjadi pada bidang kesusastraan. Misalnya, novel Alf Laila wa Lailah (kisah Seribu Satu Malam) sebenarnya bukan mahakarya sastra, meskipun diakui sebagai karya seni dengan kreatifitas isinya yang tinggi, tetapi salah satu tokohnya Abu Nawas (w. 810) lebih terkenal karena anekdot dan kelucuannya dari pada filsafat dan kearifannya.

Demikian pula Ibnu Thufail (w. 1185).Ia adalah pengarang novel-novel filsafat yang paling dini. Karyanya risalah Hayy Ibnu Yaqzan (Kehidupan Ibnu Yaqzan) banyak dijiplak dan cerita Robinson Crusoe karya Dafoe adalah adalah tiruan rasis darinya. Tentu saja Dafoe yang lebih terkenal di dunia sastra Barat.

Model orbit planet Copernicus yang kemudian dirumuskan dengan baik oleh Kepler dalam Hukum Kepler I, II dan III sebenarnya telah dihasilkan dari laboratorium di Maraga oleh ilmuan seperti Al-Tusi (w. 1274 M) yang kemudian diteruskan oleh Ibnu Al-Syatir (w. 1375 M) di Damaskus.

Ibnu Al-Haytsam (w. 1039 M) mempelopori penelitian tentang optika. Eksperimennya menggunakan lebih dari 27 jenis lensa. Roger Bacon, Leonardo da Vinci dan Kepler bahkan mungkin Newton telah mengambil inspirasi bahkan menjiplak dari bukunya Kitab Al-Manazhir (Kamus Optik). Sebab teori tentang mata yang bukan sumber cahaya (mirip kesimpulan Newton yang menggugurkan pendapat Euclid dan Ptolomy), hukum refleksi dan refraksi (yang lebih terkenal dengan hukum Snellius) serta pertambahan ukuran bintang dekat zenith sesungguhnya telah dirumuskan dengan baik oleh Ibnu Al- Haytsam lewat berbagai eksperimennya.

Belum lagi ilmu kedokteran. Dunia mestinya berterimakasih pada Ibnu Sina. Mereka, bangsa Barat menyebutnya dengan Ave Sena) yang telah menulis Kitab Qanun fi Al-Tibb yang berisi berbagai jenis penyakit dan pegobatannya secara komprehensif. Buku tersebut menjadi acuan selama beberapa abad kemudian dan diajarkan kepada seluruh calon-calon dokter pada saat itu.

Sampai akhir abad ke-19 tingginya ilmu pengetahuan kedokteran sumbangsih para dokter muslim terlihat saat para calon dokter di Prancis harus mendapatkan surat izin praktek dari Kepala Dokter Muslim di Tunisia. Tapi kemudian pemerintah kolonial Prancis melarang keras tindakan tersebut. Eropa berusaha menghapuskannya dengan alasan mengangapnya rendah hanya karena dokter mereka harus merunduk ke Tunisia yang Islam.

Mereka Tidak Jujur Sayang seribu sayang kejayaan dan kebaikan kaum muslimin itu dicuri dan diaku-aku sebagai hasil karya Barat. Parahnya lagi, hasil karya mulia para ilmuan Muslim itu secara dihancurkan oleh para penguasa yang tidak peduli perjuangan dan pengorbanan umat Islam. Mereka lebih senang korupsi dan berkongsi penjajah Barat, yang sejak semua benci dengan Islam.

Walaupun demikian, Barat betul-betul banyak berhutang kepada Islam. Sayang mereka tak jujur atas sumbangan besar kaum muslimin itu. “Semenjak 13 abad, Barat telah menolak warisan ketiga ini, yaitu warisan Islam yang pada masa lalu mestinya dapat dan terang akan dapat mempertemukan kebudayaan Barat dengan kebudayaan-kebidayaan lainnya di seluruh dunia, ” ujar Garaudy, pemeluk Katholik yang menjadi atheis dan berakhir menjadi Muslim.

Ia menegaskan, jika saja Barat bersikap fair dan merendah, maka mereka akan menjadi bangsa yang bermartabat. ”Selain itu, warisan ketiga itu juga akan membantunya untuk merasakan dimensi-dimensi kemanusian dan ketuhanan yang telah terpisahkan selama kebudayaan Barat berkuasa secara sepihak, mengembangkan kemauannya untuk menguasai alam dan manusia. ”

Bila saja Barat mau menerima Islam, maka Barat tidak akan bernasib seperti sekarang ini:sekular, liberal, dan ambigu, dan rasial

Label:


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 06.07 | Permalink | 0 comments
Selasa, 11 September 2007
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Adian Husaini : Islam Tidak Sama dengan Agama Monoteisme
Banyak kalangan yang salah paham tentang Islam. Akhir-akhir ini mereka mensejajarkan Islam dengan agama-agama lain, termasuk dalam hal keimanan kepada Allah.

”Banyak buku yang ditulis akademisi Muslim menjadikan Islam sebagai agama monoteisme. Padahal Islam bukan agama monoteisme, ” ujar Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Adian Husaini.

Menurutnya, Islam adalah agama wahyu. Karena itu, ia berbeda dengan agama-agama lain yang mengklaim sebagai agama monoteisme. Jadi memasukkan Islam sebagai agama monoteis itu tidak benar.

”Islam itu berdasarkan tauhid, dan tauhid itu bukan monoteisme. Kalau tauhid itu hanya Allah Swt yang diesakan. Berbeda dengan monoteisme. Monoteisme itu mengesakan siapa saja, termasuk mengesakan batu atau Fir’aun, ” paparnya.

Terminologi demikian, kata kandidat doktor Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Malaysia, berawal dari buku-buku yang ditulis para oroientalis dan disadur atau dikutip mentah-mentah oleh para sarjana Muslim yang belajar ke Barat. Di sisi lain, banyak alumni Timur Tengah yang tidak kritis terhadap masalah ini. ”Ini soal serius, soal aqidah umat, ” tegas Adian.

Akibat ketidakpahaman dan kesalahan ini, maka wajar saja bila saat ini kajian Islam di banyak perguruan tinggi (Islam), agama wahyu ini dibahas sebagaimana ilmu-ilmu lain. ”Semua konsep iman dalam Islam dibongkar. Padahal antara ilmu-ilmu keIslaman punya standar yang tidak sama dengan ilmu-ilmu alam dan sosial” tegasnya.

Dampak selanjutnya, terang Adian, banyak sarjana Islam yang pemahaman Islamnya mengikuti framework orientalis. Mereka tidak lagi meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar.

Sementara itu Direktur Institute for The Study Thought and Civilization (INSIST) Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menyatakan, agar kita tidak terseret pada pla pikir orientalis Barat, maka wordlview kita harus berdasarkan nilai tauhid.

''Wordlview Islam itu adalah aqidah fikriyyah atau kepercayaan yang berdasarkan pada akal, yang asasnya adalah keesaan Tuhan (tawhid/shahadah), yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim dan berpengaruh terhadap pandangannya tentang keseluruhan aspek kehidupan terutamanya tentang realitas dan kebenaran, " paparnya.

Sederhananya, tegasnya, Pandangan Hidup Islam itu adalah ”Ilmu, Iman, ’Amal” menyatu. Ia menjelaskan bahwa ilmu harus mendahului iman. Sedangkan ’amal tidak boleh lepas dari ilmu dan iman.

Ia menambahkan, ketika orang bersyahadat, ia harus mengawalinya dengan penuh kesadaran. Kata asyhadu, ”aku bersaksi” adalah menyaksikan dengan penuh kesadaran, keyakinan dan pengetahuan (cara pandang). Cara pandang ini mempengaruhi cara manusia melihat realitas atau segala yang wujud.

Menurutnya, definisi yang lebih teknis dan epistemologis adalah bahwa konsep-konsep Islam, apabila dikumpulkan, merupakan cara pandang yang khas dan itu juga menunjukkan cara kerja secara intelektual, saintifik dan spiritual, yang bermuara kepada konsep ”Tuhan”.

Dari konsep Tuhan inilah kemudian lahirlah konsep kehidupan, konsep dunia, konsep manusia, konsep nilai, konsep ilmu dan seterusnya.
Berbicara masalah konsep ilmu dan manusia, muncullah pendidikan; berbicara konsep manusia dan nilai, lahirlah hukum; berbicara konsep nilai dan dunia, lahirlah politik; berbicara konsep dunia dan kehidupan, lahirlah ekonomi; dan berbicara konsep kehidupan dan ilmu, lahirlah ilmu dan teknologi. Kesemuanya itu saling terkait satu dengan yang lainnya, dan bermuara kepada konsep ketuhanan.

Di sinilah, sambung Pembantu Rektor III Institut Darussalam, Gontor, konsep ”tauhid” memberikan makna yang lebih komprehensif; tidak saja mempercayai Allah sebagai yang Esa, tapi juga mengakui kesatuan dan keintegralan sistem yang terdapat di tengah-tengah makhluk-Nya

Sumber : Hidayatullah.com

Label: ,


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 10.34 | Permalink | 0 comments
Minggu, 09 September 2007
MENELUSURI DEFINISI KHILAFAH
Pengertian Bahasa Khilafah

Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba’dahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mu’jam Al-Wasith, I/251).

Dalam kitab Mu’jam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).

Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za’amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8-9).

Pengertian Syar’i Khilafah

Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).

Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang “Khilafah” atau “Imamah”. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata “ad-dawlah al-islamiyah” (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu’amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).

Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :

Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3).

Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15).

Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali’, hal.225).

Keempat, menurut ‘Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 32).

Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).

Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).

Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8).

Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).

Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a’zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).

Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) ... untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad...melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud... sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23).

Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauhar At-Tauhid, II/45).

Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 33).

Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-‘Ilm wa Al-‘Alim, IV/363).

Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).
Analisis Definisi

Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :

Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,”Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.”

Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi “urusan dunia” (umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur “urusan agama”.

Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam Al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.

Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) --misalnya adanya dikotomi wilayah “urusan dunia” dan “urusan agama”-- daripada sebuah definisi yang bersifat syar’i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaami’ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur “umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin”. Atau bahwa Khilafah mengatur “kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah”. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?

Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar’i (at-ta’rif asy-syar’i) atau definisi non-syar’i (at-ta’rif ghayr asy-syar’i) (Zallum, 1985:51). Definisi syar’i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar’i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi’il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya

Jika definisinya berupa definisi non-syar’i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi’), bukan dari nash-nash syara’. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar’i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara’ Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, definisi syar’i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar’i (Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma’lumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar’i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar’i yang berkaitan dengannya.

Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar’i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar’i, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh “khalifah” dan “imam” yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.

Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :

Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah

Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits,”Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).

Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :

Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.

Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).

Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar’i (al-madlul asy-syar’i).

Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla.

wassalam


Label:


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 13.33 | Permalink | 2 comments
Jumat, 07 September 2007
Buletin Suara pembebasan, tgl.7 / Sept / 2007, Menyambut Bulan Suci Ramadhan
Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Bulan Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan Allah SWT sebentar lagi datang. Shaum atau ibadah puasa bulan Ramadhan adalah salah satu aturan Allah untuk mengantarkan kaum muslimin menjadi manusia bertaqwa (lihat TMQ. Al Baqarah.183).
Namun, sayang, dalam pelaksanaannya, Ramadhan yang sejatinya menjadi bulan ibadah sekaligus syi'ar kesatuan umat itu ternoda oleh seringkali berbedanya awal dan akhir Ramadlan.

Perbedaan itu konon merupakan masalah lama yang acap kali terjadi di dunia Islam, antara satu negara dengan negara lain, bahkan satu kota dengan kota lain.
Namun di era globalisasi informasi dan canggihnya teknologi komunikasi ini, perbedaan itu mengusik nurani kita. Betapa siaran langsung solat tarawih dari Masjidil Haram sepanjang bulan Ramadhon dapat diikuti oleh kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di sini RCTI, dll !!!

Tapi kenapa, tak boleh diadakan siaran langsung informasi "rukyatul hilal" awaldan akhir Ramadhan? Padahal bulan sabit (hilal) yang menjadi objek yang diamati guna menentukan masuknya bulan baru adalah bulan yang satu, ya bulan sabit yang itu-itu juga? Dimana sebenarnya letak permasalahan nya? Tulisan ini akan mengurainya dalam rangka menjaga kesatuan umat dan kesucian ibadah kita.

Rukyatul Hilal Penentu Awal Ramadlan dan Aidil Fitri

Shaum Ramadhan, Aidil Fitri, dan Aidil Adha di samping merupakan ibadah yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Rabb-nya, sesungguhnya juga merupakan salah satu fenomena yang menjadi syi'ar kesatuan umat Islam. Kaum muslimin wajib memulai puasa dan merayakan Aidil Fitri secara serentak pada hari yang sama, semata-mata demi melaksanakan perintah Allah SWT yang telah mempersatukan mereka. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Misalnya, sabda baginda Rasulullahsaw.: “Berpuasalah kalian jika melihat hilal (bulan sabit), dan berbukalah (beraidil Fitri lah) kalian jika melihat hilal. Dan jika hilal itu tertutup debu dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangan bulan Sya'ban itu tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dari AbuHurairah).

“Sesungguhnya satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal). Dan jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.” (HR. Bukhari)

Hadis-hadis Rasul ini mengandung pengertian (dalalah) yang jelas (sharih), bahawa sebab syar'ie untuk mengawali Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul hilal) untuk bulan Ramadhan. Demikian pula sebab syar'ie untuk Aidil Fitri adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul hilal) untuk bulan Syawal. Ini seperti sebab pelaksanaan solat zuhur adalah tegelincirnya matahari sebagaimana sabda Nabi saw.: “Jika matahari telah bergeser dari tengah-tengah langit, maka solatlah (zuhur)” (lihat An Nabhani, As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz III/43).

Hisab Sekadar Membantu

Sebagian orang salah anggap bahwa dengan majunya ilmu hisab falaki (astronomi) maka kaum muslimin tak perlu merukyat untuk menentukan awal dan akhir Ramadlan. Bahkan mereka memutarbelit kata rukyat dalam hadis tersebut sebagai “rukyat bil ilmi” yakni ilmu hisab. Tentu hal itu tak boleh dibenarkan kerana tak ada indikasi (qorinah) yang menunjukkannya. Sehingga, perkataan Nabi SAW “Jika hilal tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian”, ertinya, jika kalian tidak melihat hilal dengan mata kalian (bi a'yunikum). Adapun perkataan Nabi SAW “maka perkirakanlah ia” bukan bererti merujuk pada perhitungan astronomi (hisab). Melainkan ertinya adalah menyempurnakan bilangan bulan sebanyak 30 hari. Sabda Nabi SAW:

“Dan jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangannya menjadi tiga puluh hari.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Jadi, hisab astronomi paling modern sekalipun tak boleh menjadi penentu awal dan akhir Ramadhan. Sebab, Allah SWT memerintahkan memulai puasa Ramadhan dan Aidil Fitri berdasarkan rukyatul hilal. Dan aturan ibadah itu datangnya mesti dari Dzat Yang diibadahi (Al Ma'bud), muslim pun diperintahkan untuk terikat dengan hukum syara.

Kalau begitu, apa gunanya kemajuan ilmu astronomi bagi menjalankan ibadah Ramadlan?

Mengingat realiti perhitungan hisab modern (hisab haqiqiy tahqiqiy) kecil sekali kesalahan perhitungannya, yakni sebesar 2 detik dalam 4000 tahun, dan akurasinya pun diamati observer setiap bulan melalui peralatan canggih, juga terbukti . amat jarangnya kapal dalam perjalanan tersesat, dugaan-dugaan akan gerhana bulan dan matahari yang tepat, maka perlu dipertimbangkan pengunaannya dalam membantu mencari tempat strategi untuk rukyat di seluruh dunia.

Peranan ilmu hisab sebagai alat bantu ini, lantaran secara riil ilmu hisab hanya dapat menentukan wujudnya hilal dan kemungkinan dapat terlihatnya hilal. Sebaliknya, hisab tidak dapat menetapkan terlihat atau tidaknya bulan. Tambahan lagi, seperti dinyatakan oleh para ahli astronomi, hisab tidak dapat mendeteksi iklim dan cuaca. Oleh sebab itu, betapapun akuratnya perhitungan hisab moden tetap saja tidak dapat dijadikan rujukan tentang rukyatul hilal. Dia hanya sekadar membantu memudahkan rukyat, bukan malah menolak atau mementahkan rukyat.

Jadi, baik secara syar'ie maupun berdasarkan realiti, penentuan awal dan akhir Ramadlan tidak dapat tidak harus melalui penglihatan terhadap munculnya hilal (rukyatul hilal). Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah kalian. Dan jika kalian telah melihat hilal, maka berbukalah (beraidul Fitri) kalian. Jika hilal tertutup awan/mendung atas (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.”

Perintah (amr) Rasulullah SAW dalam hadis-hadis untuk memulai puasa Ramadhan berdasarkan rukyatul hilal adalah perintah wajib (lil wujub), kerana perintah tersebut adalah perintah untuk melaksanakan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh firman Allah SWT :

“Kerana itu barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa.” (TMQ. Al Baqarah : 185)

Perintah (amr) untuk berbuka puasa (beraidil Fitri) berdasarkan rukyatul hilal adalah juga perintah wajib (lil wujub). Kerana Rasulullah SAW telah melarang berpuasa pada dua hari raya, iaitu Aidil Fitri dan Aidil Adha. Mengingat larangan ini adalah larangan untuk melaksanakan yang mandub atau fardhu, maka perintah Rasulullah di dalam hadis “dan berbukalah (beridul Fitri) kalian jika melihat hilal” berarti adalah perintah wajib (lil wujub).

Satu Rukyat Untuk Kaum Muslimin Sedunia

Khithabusy Syari' (seruan Allah SWT) dalam hadis-hadis di atas ditujukan bagi seluruh kaum muslimin. Tak ada beanya antara orang Syam dan orang Hijjaz. Begitu pula tak ada bezanya antara orang Malaysia dengan orang Palestin Sebab, lafaz-lafaz dalam hadis-hadis tersebut bersifat umum. Dhamir jama'ah (kata ganti berupa wawu jama') yang terdapat dalam kalimat “berpuasalah kalian” (shuumuu) dan “dan berbukalah kalian” (wa afthiruu), tertuju untuk seluruh kaum muslimin. Sedangkan lafazh “melihat hilal” (ru'yatihi) adalah isim jinsi yang di-idhafat-kan (disandarkan) pada dhamir (kata ganti). Ini menunjukkan bahwa rukyatul hilal yang dimaksud, adalah ru`yat dari siapa saja, selama dia muslim. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA :

“Bahawa seorang Arab Baduwi datang kepada Rasulullah SAW. seraya berkata, 'Saya telah melihat hilal (Ramadhan).' Rasulullah saw. lalu bertanya, 'Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?' Orang itu menjawab,'Ya.' Kemudian Nabi SAW menyerukan, “Berpuasalah kalian!” (HR. Abu Dawud, An Nasa`i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Oleh kerana itu, jika seorang muslim telah melihat hilal untuk bulan Ramadhan maupun Syawal, di manapun ia berada, maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk berpuasa ataupun berbuka (beraidul Fitri). Tidak ada perbezaan antara satu negara dengan negara lainnya, atau antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Sebab ru`yatul hilal oleh siapa saja dari kaum muslimin, merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihat hilal.

Menolak rukyat lantaran beza negara?

Kini kaum muslimin hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap ketua negara menetapkan awal dan akhir Ramadlannya sendiri-sendiri tanpa lagi
memperhatikan nash-nash syara'. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqoha, nampaknya dijadikan sebagai dalil sekunder. Dalil primernya adalah kekuasaan mereka atas wilayah negara mereka, dan fanatisme mereka terhadap negara dan bangsa mereka. Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni. Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 220 juta terpecah dalam sekitar 20 negara? Kita di Malaysia prihatin atas gejala disintegrasi yang boleh memecah negara ini menjadi lebih dari 20 negara! Bukankah mestinya 1,5 milion kaum muslimin ini mestinya hidup dalam satu naungan negara?!

Mengenai ikhtilaaful mathaali' (perbezaan mathla', iaitu tempat/waktu terbitnya hilal) -- yang digunakan sebagian orang sebagai alasan (untuk berbeza dalam berpuasa dan beriadul Fitri)— adalah merupakan manath (fakta untuk penerapan hukum) yang telah dikaji oleh para ulama terdahulu. Fakta saat itu, kaum muslimin memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal ke seluruh penjuru wilayah negara Khilafah Islamiyah yang amat luas dalam satu hari, kerana alat komunikasi yang terbatas. Namun, kini fakta telah berubah. Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla) digunakan menjadi tidak logik.

Dalam konsep mathla, setiap daerah yang berjarak 16 farsakh atau 120 km memiliki mathla sendiri. Ertinya, penduduk Jakarta dan sekitarnya dalam radius 120 km hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tapi terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu. Penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Tanjung Kodok tanpa perlu terikat rukyat di Makassar dan seterusnya. Dengan konsep mathla' wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu akan terbagi menjadi 43 mathla'.

Kerana kesulitan itu, menurut KH. Sahal Mahfudz, NU pindah madzhab (intiqalul madzhab). Sayangnya tidak pindah ke madzhab jumhur, yakni satu rukyat untuk seluruh dunia., melainkan membuat 'madzhab' baru yakni wilayatul hukmi, yakni . penyamaan awal dan akhir Ramadlan diserahkan pada negara nasional masing-masing, Pertanyaan kita, apa landasan syar'i yang membolehkan wilayah kaum muslimin terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yakni lebih dari 50 wilayatul hukmi? Bukankah Islam hanya mengajarkan satu wilayatul hukmi untuk seluruh dunia, yakni yang dipimpin oleh Imam Al A'zham, alias Khalifah! Rasulullah saw. bersabda:

“Jika dibai'at dua khalifah (kepala negara penguasa wilayatul hukmi), maka bunuhlah yang kedua (jika tak mau meletakkan jabatan)” (HR. Muslim).

Bilakah umat Islam akan bersatu? .



Label: ,


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 11.22 | Permalink | 0 comments
Kamis, 06 September 2007
15 Perkara yang Hilang Akibat Ketiadaan Khilafah
Berikut ini adalah sebuah transkrip percakapan telepon yang disampaikan oleh Br.Issam Amirah dari Baitul Maqdis Palestina pada Konferensi yang diselenggarakan di Illinois/Chicago AS tanggal 19 November 2000(redaksi)

Dengan nama Allah SWT. Semoga shalawat dan salam tercurah pada Rasulullah saw., keluarga dan kepada para sahabatnya. Saya bersaksi bahwa tiada yang layak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Hadirin yang saya hormati,

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Hamaan beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (TQS. Al Qashash, 5-6)

Saudara-saudara sekalian,

Peristiwa menggembirakan seperti itu yang akan datang pada Anda dari Bait-ul Maqdis, tempat yang telah ditunggu untuk dibebaskan Islam setelah sekian lama. Tempat ini juga di mana akan segera dikuasai Khilafah, Insya Allah.

Saudara-saudara sekalian,

Saya mengucapkan selamat pada Anda atas upaya di jantung dunia kufur agar kaum muslim bangkit bersama dengan saudara-saudara muslim di seluruh penjuru dunia, yaitu orang-orang yang sepenuhnya lakukan di jalan ini. Ini membuktikan bahwa rencana Anda telah diprioritaskan secara benar.

Saudara-saudara sekalian,

Kami menemukan dalam Al Quran,

“Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan, ’Hai Kafilah, sesungguhnya Kamu adalah orang-orang yang mencuri. Mereka menjawab sambil menghadap kepada penyeru-penyeru itu, ’ Barang apa yang hilang daripada Kamu ?’ Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan akan menjamin terhadapnya.’” (TQS.Yusuf : 70-72)

Saudara-saudara sekalian,

Sudah menjadi hal yang umum jika seseorang kehilangan sesuatu, ia tidak akan ragu memberitahukan semua hal yang berkaitan dengan sesuatu yang hilang itu. Jadi kami perlu berteriak hari ini di depan semua penguasa dunia Islam sambil berkata,” Hai Raja, Presiden, Amir dan Sultan ! Kamu pencuri !” dengan tanpa ragu-ragu. Jika mereka bertanya pada apa yang hilang ? Kita akan menjawab dengan jelas dan yakin bahwa sejak mereka mengambil kekuasaan umat Islam dengan mengikuti leluhurnya yang telah berkonspirasi dengan Inggris dan terakhir AS. Kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Merasa kehilangan sejak runtuhnya Turki Utsmani sekitar delapan puluh tahun yang lalu. Kita merasa kehilangan ayang amat sangat dan di luar yang kita bayangkan. Kami percaya bahwa itu akan berguna bagi kaum muslim agar mengetahui dirinya telah kehilangan sehingga akan mendorong dirinya untuk secara langsung berusaha dengan orang-orang yang bersungguh-sungguh mengembalikan khilafah dan memulai jalan hidup Islam.

Saya menghitung ada 15 hal penting yang hilang dalam umat Islam akibat mereka menyerahkan dirinya pada rejim kufur dan berhenti berhukum dengan syariat Islam. Kehilangan itu adalah :

1. Keridhaan Allah SWT. Keridhaan Allah SWT dapat dicapai dengan mengikuti seluruh hukum dan aturan-Nya dengan penuh ketaatan sebagaimana dipraktikan oleh nabi kita Muhammad saw. Dengan kata lain menegakkan negara Islam yang merujuk pada syariat baik urusan di dalam maupun luar negeri pada setiap aspek kehidupan.
2. Hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin, di mana bai’at kepadanya merupakan suatu yang amat vital bagi setiap muslim. Rasulullah saw bersabda, ” Barangsiapa yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at maka matinya jahiliyah.” Saya ingin Anda membayangkan bagaimana berdosanya kaum muslim sejak runtuhnya Khilafah Ustmani tahun 1924 yang merupakan khilafah terakhir . Akhirnya secara spontan banyak yang hilang ketika kaum muslim kehilangan legitimasi kepemimpinan ini dan kehilangan lainnya menyusul seperti bola salju.
3. Hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan.
4. Hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir dari kepibadian Islam. Hal ini disebabkan oleh begitu dominannya kebodohan dan buta hurup yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kepribadian yang goyah.
5. Hilangnya kekuatan dan Jihad yang disebabkan kelemahan dan kekalahan.
6. Hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan
7. Hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar yang disebabkan kegelapan dan pedoman yang salah.
8. Hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan
9. Hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan politik akibat ketundukan kepada negara-negara penjajah kafir barat dan timur.
10. Hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan.
11. Hilangnya keimanan dan keikhlasan yang disebabkan pengkhianatan penempatan orang yang salah pada tempat yang salah.
12. Hilangnya sikap dan moral yang terpuji yang menyebabkan kejahatan dan sikap yang tercela.
13. Hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal, tidak hanya Palestina tetapi juga Andalusia (sekarang yang disebut Portugal dan Spanyol), wilayah yang luas di Asia Tengah dan Timur Jauh, Kosovo, Bosnia, Kashmir dan yang lainnya, yang menyebabkan jutaan imigran, gelombang pengungsi dan pendeportasian.
14. Hilangnya tempat suci dan akibatnya adalah kaum muslim dilarang shalat di Masjid Al-Aqsa selama 50 tahun sampai saat ini. Kami juga menyesalkan untuk mengatakannya pada Anda bahwa dua masjid lainnya pun yaitu Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Nabawi tidak di dalam kondisi yang diinginkan.
15. Hilangnya kesatuan dan integritas yang diakibatkan terpecahnya negeri kaum muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah, dan AS tengah bekerja keras menciptakan bagian ke 57 di Palestina, ke 58 di gurun Afrika barat dan ke 59 di Timor Timur.

Itulah kehilangan yang besar untuk disampaikan pada Anda bahwa semua telah lepas dari tangan kita setelah kita banyak kehilangan.

Saudara-saudara sekalian,

Hadiah yang ditawarkan oleh raja Mesir kuno pada masa nabi Yusuf adalah seberat beban unt, tetapi hadiah bagi siapa saja yang mengembalikan semua kehilangan kita adalah jauh lebih berharga dari pemberian raja mesir itu. Hal ini sebagaimana dikatakan Rasulullah saw. ketika utusan suku Aus dan Khajzraj bertanya pada saat bai’at aqabah kedua, ”Apa imbalannya bagi Kita jika Kami mengabulkan janji untuk mendukung dan melindungi Anda dan pengikut Anda (sahabat) ? Beliau berkata, “Surga.” Mereka menjawab, “Ulurkan tanganmu pada Kami untuk membuat kesepakatan. Kami akan melewati kesepakatan kita dan Kami tidak akan mundur.”

Saudara-saudara sekalian,

Supaya masa seperti itu terjadi lagi, kita serukan kepada semua penguasa dan kaum muslim yang berpengaruh, terutama petinggi militer, kepala suku - kepala suku terkemuka dan anggota-anggota parlemen, agar mereka bekerja sama dengan kaum muslim yang bersungguh-sungguh mengembalikan khilafah. Kemudian segera meminta mereka utnuk memberikan dukungan untuk menggulingkan para penguasa Arab saat ini yang tidak sah dan mengaku negara Islam. Tujuan menegakan kembali sudah sepantasnya berpedoman pada khilafah yang berdasar pada jalan kenabian di tempat yang paling memungkinkan di dunia Islam. Kemudian menggabungkan secepatnya negeri-negeri kaum muslim yang memungkinkan dalam kekhilafahan. Umat Islam akan bisa bersatu dan Islam akan diterapkan secara penuh. Kemudian menyebarluaskan Islam kepada seluruh manusia dengan dakwah dan jihad. Negara Khilafah akan menjadi satu-satunya negara yang memiliki kekuatan terhebat. Memberikan harapan berdirinya kembali khilafah menjadi budaya Kita dan mengembalikan khilafah merupakan kewajiban setiap muslim.

Saudara-saudara sekalian

Al Tabarani meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,” Jihad terbaikmu adalah ribat dan ribat terbaikmu adalah di Asqalan.” Asqalan adalah suatu kota Palestina di Mediterania. Arti ribat adalah tinggal tepat di perbatasan dengan tujuan untuk menakut-nakuti musuh dan secara terus-menerus mengharapkan musuh takut olehnya. Para ulama berkata tidak ada seorang muslimpun saat ini melakukan ribat baik di Asqalan maupun tempat lainnya karena yang biasanya dideklarasikan oleh khalifah. Dengan kata lain tidak ada seorang muslim yang bisa berhak secara praktis melakukan ribat karena ketadaan negara khilafah.
Kaidah syara berbunyi,”Apabila suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan itu menjadi wajib.”

Untuk itu, Kita memerlukan sebuah negara Khilafah yang akan membuat garis perbatasan dengan orang-orang kafir dan seorang khalifah yang akan mendeklarasikan jihad melawan mereka, menggunakan seluruh sumber umat Islam termasuk kemampuan-kemampuan militer non aktif yang sangat melimpah. Keputusan seperti itu tidak mungkin bisa diharapkan dari pertemuan pemimpin-pemimpin Arab atau pemimpin-pemimpin muslim saat ini.

Saudara-saudara sekalian,

Gambaran itu sangat jelas dan sepengetahuan saya upaya penegakan khilafah lebih kuat sejak itu dan mereka menyebarkannya lebih luas lagi. Tanah yang subuh ditaburi benih perubahan seperti umat yang lebih siap untuk menerima khilafah dari masa sebelumnya. Khilafah menjadi sebuah permintaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan munculnya sangat cepat. Ditambah dengan para pendukung khilafah yang diperkirakan puluhan –mungkin ratusan juta di seluruh dunia Islam. Yang merefleksikan sebuah kekuatan opini publik pada persoalan sensitif ini. Dengan kata lain, perlawanan hebat dan penindasan yang dilakukan rejim kufur beserta kroninya melawan upaya penegakan khilafah di dalam maupun dari luar justru sebagai kabar gembira untuk menerangi umat ini.Oleh karena itu saya ingin Anda yakin bahwa suatu saat nanti akan menjadi khilafah.Insya Allah.

”Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. ” (TQS Yusuf: 21)

Semoga Allah SWT memberi Kita kesabaran dan kekompakan serta memungkinkan Anda untuk memainkan peran yang penting dalam menegakkan dan memperjuangkan datangnya negara Khilafah.

“Maka Allah adalah sebaik-baiknya penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang” (TQS Yusuf: 64])

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Issam Amireh
Abu Abdullah
Baitul Maqdis
Palestina
(Ahmad Saheed /Khilafah Magazine Desember 2000)

Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id

Label:


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 07.18 | Permalink | 0 comments
Apakah Khilafah Islamiyyah Hanya Berumur 30 Tahun dan Selebihnya Kerajaan?
“Sesungguhnya awal adari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt.”[HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan]

Hadits-hadits inilah yang dijadikan dalil bahwa masa kekhilafahan itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa perjuangan menegakkan khilafah Islamiyyah hanyalah perjuangan kosong dan khayalan. Sebab, Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa masa kekhilafahan itu hanya berumur 30 tahun. Walhasil, kekhilafahan tidak mungkin berdiri meskipun diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam. Kalau pun pemerintahan Islam berdiri bentuknya tidak khilafah akan tetapi kerajaan.

Lalu, apakah benar bahwa hadits-hadits di atas dalalahnya menunjukkan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan?

Untuk menjawab pendapat-pendapat ini kita harus menjelaskan satu persatu maksud dari hadits-hadits di atas.


Hadits Pertama

Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]

Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, ‘Umar , ‘Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.

Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, “Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, “Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik.”

Para khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.


Hadits Kedua & Ketiga

Kata “al-muluuk”(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah,” Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja”. Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.

Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-‘ahdi).

Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja” adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah “raja dan sultan” bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, “Rasulullah saw bersabda,”Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa.”

Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.

Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah.


Label:


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 07.12 | Permalink | 0 comments
Minggu, 02 September 2007
Upaya Mendirikan Khilafah
Salah satu persoalan nyata yang dihadapi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW adalah masalah kekosongan kepemimpinan Negara Islam. Hal ini memang tidak diatur dengan tegas dan rinci baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Tentang hal ini ada pengamat Barat yang mengatakan, Barangkali sakit beliau di akhir hayatnya telah menghalangi beliau untuk melakukan hal itu, dan seorang orientalis lain, Thomas Arnold, menyatakan, sebabnya adalah karena Nabi tidak mau melanggar adat istiadat Arab yang berlaku pada masa itu.

Menurut Dhiauddin Rais (2001), pandangan-pandangan spekulatif seperti disebutkan di atas tidak bisa diterima. Sesungguhnya faktor utama yang melatarbelakangi hal ini adalah karena adanya hikmah syariat yang besar yang dikehendaki dengan tidak dijelaskannya masalah khilafah ini dengan jelas dan rinci, yaitu agar tidak mengikat umat Islam dengan aturan baku yang kaku, yang kemudian bisa tidak cocok dengan perkembangan yang terus terjadi, serta tidak sesuai dengan situasi dan kondisi. Syariat Islam memang berkehendak agar undang-undang Islam terus bersifat lentur, sehingga memberi kesempatan kepada akal manusia untuk berpikir, dan umat Islam dapat menciptakan sendiri sistem politik dan kemasyarakatannya, sesuai dengan kebutuhan mereka yang terus berubah-ubah.

Masa 30 tahun berikutnya sejak Nabi wafat tahun 662M dan tewasnya Ali dibacok seorang Khawarij tahun 661M dikenal sebagai era Khulafaur-Rasyiddin (The Right Guided Successors) yang berada di bawah prinsip-prinsip konsultasi dan akomodasi, dimana pengangkatan khalifah dilakukan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi yang dilakukan oleh diwan syura melalui proses musyawarah dan pilihan dengan baiat. Pada umumnya ulama maupun pengamat sepakat bahwa pada era Khulafaur-Rasyiddin ke-imamahan sangat sempurna, sebab idealisme Islam sesuai dengan realita.

Dalam menanggapi diselenggarakannya Konferensi Khilafah Internasional oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) 12 Agustus 2007, Azyumardi Azra dengan mengutip pendapat Ibnu Khaldun menyatakan bahwa khilafah sudah tamat dengan berakhirnya Khulafaur-Rasyiddin. Dengan tegas Azyumardi Azra mengatakan, semua entitas politik pasca al-Khulafa al-Rasyidun adalah kerajaan atau kesultanan, bukan khilafah.

Ada kekeliruan mendasar yang disimpulkan oleh Azyumardi Azra. Waktu Ali tewas, memang telah berakhir apa yang disebut ulama-ulama fikih sebagai Khilafat al-Kamila, atau kekhalifahan yang sempurna, tetapi bukan kekhalifahan itu sendiri. Dalam Muqaddimah pasal 28 tentang Perubahan Kekhalifahan Menjadi Kerajaan Ibnu Khaldun sesungguhnya mengatakan bahwa sejak Muawiyah mewariskan tahta kepada putranya Yazid karena didorong oleh fanatisme primordial (al-ashabiyah) bentuk kekhalifahan bermetamorphosis menjadi sistem kerajaan. Meskipun demikian Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekhalifahan itu secara substansi tetap ada dan bertahan. Perpindahan dari kekhalifahan ke bentuk kerajaan an sich tidak dinilai beliau bertentangan dengan syariat, sepanjang kerajaan masih melaksanakan segala aktivitasnya untuk mencapai kebenaran dan kemaslahatan bersama.

Lebih jauh Ibnu Khaldun mengatakan bahwa walaupun bentuk pemerintahan Islam telah berganti dari sistem syura ke sistem pewarisan kerajaan, namun makna-makna substansial dan tujuan-tujuan atau hakikat kekhalifahan masih utuh dan ciri Negara Islam masih berjalan. Dalam Muqaddimah beliau menyatakan, Islam masih memiliki kehormatan dan kekuatan; Islam telah menebarkan keadilan, persaudaraan, persamaan dan penjagaan kehormatan, menggantikan kezaliman, pemaksaan dan penindasan sebagaimana yang sebelumnya dilakukan oleh imperium Persia dan Romawi.

Ibnu Khaldun yang lebih fokus pada makna formal keimamahan menyimpulkan bahwa setiap sistem pemerintahan ditentukan oleh undang-undang. Pertama, pemerintahan kerajaan yang alamiah yang membawa umat pada tujuan memenuhi tujuan nafsu (al-shahwat), yang tabiat alamiahnya ditentukan oleh instink seperti berusaha mewujudkan keserakahan individu. Kedua, pemerintahan politik (siyasah aqliyah), yang didasarkan pada rasio belaka dalam mencapai kesejahteraan duniawi. Walau kedua bentuk pemerintahan ini hingga batas tertentu dapat mewujudkan keadilan dan manfaat, keteraturan, kemajuan dan kejayaan bangsa, tetapi misinya materialis dan mengenyampingkan kehidupan spritual dan hal-hal yang berkaitan dengan akhirat.

Karena kelemahan tersebut, diperlukan bentuk pemerintahan ketiga, yaitu pemerintahan kekhalifahan (siyasah diniyah), yaitu sebuah sistem yang akan membawa semua orang untuk sesuai dengan jalan agama Islam dalam memenuhi kepentingan mereka dunia dan akhirat. Model pemerintahan ketiga ini menurut Ibnu Khaldun adalah perwakilan dari Tuhan sebagai pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan ajaran-ajarannya.

Hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan Negara Islam dan menjaga kesinambungannya. Negara yang dimaksud adalah negara yang berdiri di atas dasar agama Islam, yang melaksanakan syariat Islam, yang bertugas menjaga tanah-tanah Negara Islam, yang membela penduduk Islam, dan berusaha menyebarkan misi Islam di dunia. Dhiauddin Rais menyatakan bahwa hukum mendirikan Negara Islam tersebut adalah fardhu atau rukun. Dengan demikian umat Islam dikategorikan lengah dan dari sisi agama Islam berdosa jika tidak melaksanakan kewajiban ini. Dosa tersebut jatuh ke pundak para kepala negara, penguasa, ulama, dan cerdik pandai seperti Azyumardi Azra, karena kewajiban tersebut jatuh terlebih dahulu atas mereka, dan merupakan tingkatan pertama yang bertanggungjawab bagi tugas penjagaan umat dan agama Islam. Selamat berjuang!

sumber : http://www.hizbut-tahrir.or.id/

Label:


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 10.00 | Permalink | 0 comments
Jumat, 24 Agustus 2007
Mempersiapkan diri Menyambut Ramadhan

Saat ini kita telah berada di tengah-tengah bulan Sya’ban. Sebulan lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Ramadhan merupakan tamu agung yang senantiasa kita harapkan kedatangannya. Karena itu, tentu kita jauh-jauh hari mesti mempersiapkan diri guna menyambutnya.

Sudah kita ketahui bersama, bahwa manusia tidak akan melaksanakan sesuatu dengan baik kecuali jika ia mempersiapkan diri dengan baik pula. Begitupun agar kita mampu melaksanakan semua amalan di bulan Ramadhan; sangat penting kita mempersiapkan diri untuk itu. Keberhasilan kita pada bulan Ramadhan akan dipengaruhi sejauh mana kita mempersiapkan diri untuk menyambutnya.



Rasul saw. dan para Sahabat sangat bersemangat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka sangat serius mempersiapkan diri agar bisa memasuki bulan Ramadhan dan melakukan segala amalan di dalamnya dengan penuh keimanan, keikhlasan, semangat, giat dan tidak merasakannya sebagai beban.

Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut Ramadhan, tamu yang istimewa ini. Persiapan penting yang harus kita lakukan adalah persiapan mental dan ilmu. Mempersiapkan diri secara mental tidak lain adalah mempersiapkan ruhiah kita serta membangkitkan suasana keimanan dan memupuk spirit ketakwaan kita. Cara paling manjur adalah dengan memperbanyak amal ibadah. Dalam hal ini, Rasulullah saw. telah memberikan contoh kepada kita semua. Nabi saw. memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Ummul Mukminin Aisyah ra. menuturkan:

«مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ»

Aku tidak melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan aku tidak melihat Beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan dengan pada bulan Sya’ban (HR al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan Rasulullah saw. menyambung puasa pada bulan Sya’ban itu dengan puasa Ramadhan. Ummul Mukminin Aisyah ra. menuturkan:

«كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَصُوْمَهُ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ»

Bulan yang paling Rasul saw. sukai untuk berpuasa di dalamnya adalah Sya’ban, kemudian Beliau menyambungnya dengan (puasa) Ramadhan. (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).

Beberapa hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw. banyak berpuasa pada bulan Sya’ban. Puasa pada bulan Sya’ban itu demikian penting dan memiliki keutamaan yang besar daripada puasa pada bulan lainnya, tentu selain bulan Ramadhan. Sedemikian penting dan utamanya sampai ‘Imran bin Hushain menuturkan, bahwa Rasul saw. pernah bertanya kepada seorang Sahabat:

«هَلْ صُمْتَ مِنْ سُرَرِ هَذَا الشَّهْرِ شَيْئًا يَعْنِيْ شَعْبَانَ قَالَ لاَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ»

“Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan ini (yakni Sya’ban)?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.” Lalu Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Jika engkau telah selesai menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya.” (HR Muslim).

Hadis di atas menunjukkan dengan jelas keutamaan puasa sunnah pada bulan Sya’ban. Lalu apa hikmah dari puasa pada bulan Sya’ban itu?

Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:

«يَا رَسُول اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ مِنْ شَهْر مِنْ الشُّهُور مَا تَصُوم مِنْ شَعْبَان، قَالَ : ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفَلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَان، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ»

“Ya Rasulullah, aku tidak melihat engkau berpuasa pada bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban.” Rasul menjawab, “Bulan itu (Sya’ban) adalah bulan yang dilupakan oleh manusia, yaitu bulan di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia kepada Tuhan semesta alam. Aku suka amal-amalku diangkat, sementara aku sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i; disahihkan oleh Ibn Khuzaimah).

Rasul saw. juga memposisikan puasa pada bulan Sya’ban itu sebagai persiapan untuk menjalani Ramadhan. Anas ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah ditanya:

«أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ فَقَالَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيمِ رَمَضَانَ»

“Puasa manakah yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan?” Rasul menjawab, “Puasa Sya’ban untuk mengagungkan Ramadhan.” (HR at-Tirmidzi).

Walhasil, puasa Sya’ban, di samping akan mendapatkan pahala yang besar dan keutamaan di sisi Allah, juga merupakan sarana latihan guna menyongsong datangnya Ramadhan. Al-Hafizh Ibn Rajab mengatakan, “Dikatakan tentang puasa pada bulan Sya’ban, bahwa puasa seseorang pada bulan itu merupakan latihan untuk menjalani puasa Ramadhan. Hal itu agar ia memasuki puasa Ramadhan tidak dengan berat dan beban. Sebaliknya, dengan puasa Sya’ban, ia telah terlatih dan terbiasa melakukan puasa. Dengan puasa Sya’ban sebelumnya, ia telah menemukan lezat dan nikmatnya berpuasa. Dengan begitu, ia akan memasuki puasa Ramadhan dengan kuat, giat dan semangat.”

Para ulama salaf dulu sangat memperhatikan pelaksanaan semua amalan-amalan kebaikan pada bulan Sya’ban. Mereka, sejak memasuki bulan Sya’ban, telah memperbanyak membaca al-Quran, menelaah dan memahami isinya dan men-tadabbur-i kandungannya. Bahkan Habib ibn Abi Tsabit, Salamah bin Kahil dan yang lain menyebut bulan Sya’ban ini sebagai Syahr al-Qurâ.


Wahai kaum Muslim:

Marilah kita gunakan bulan Sya’ban ini untuk instrospeksi diri; sejauh mana kita telah bertindak dan bermuamalah sesuai dengan syariah yang telah Allah turunkan. Sudahkah kita pada bulan ini bergegas mempersiapkan diri guna menyambut datangnya Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba? Ataukah kita malah termasuk orang yang melupakan bulan penting ini sebagaimana yang disinggung oleh Rasul saw. dalam hadis di atas?

Saatnyalah kita segera mempersiapkan diri sendiri, keluarga dan orang-orang yang ada di sekitar kita guna menyongsong datangnya Ramadhan. Caranya adalah dengan memperbanyak puasa serta membaca al-Quran sekaligus menelaah, memahami dan men-tadabbur-i kandungannya. Kita juga harus giat melakukan shalat malam serta memperbanyak sedekah dan amalan-amalan kebaikan lainnya. Agar kita nanti mampu menjalani Ramadhan dengan penuh makna, hendaknya kita pun menyiapkan program-program amal kebaikan yang akan kita lakukan selama bulan Ramadhan.

Lebih dari itu, bulan Ramadhan adalah bulan ketaatan; di dalamnya setiap Muslim dituntut untuk mengikatkan diri dengan seluruh syariah-Nya. Bulan Ramadhan adalah bulan murâqabah. Sebab, shaum yang dilakukan di dalamnya mengajari setiap Muslim untuk senantiasa merasa diawasi Allah. Ramadhan juga adalah bulan pengorbanan di jalan Allah. Di dalamnya setiap Muslim dituntut untuk berkorban dengan menahan rasa lapar dan haus demi meraih derajat ketakwaan kepada-Nya. Takwa adalah puncak pencapaian ibadah shaum pada bulan Ramadhan. Perwujudan takwa secara individu tidak lain adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun perwujudan takwa secara kolektif adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan oleh seluruh kaum Muslim. Shaum Ramadhan tentu akan kurang bermakna jika tidak ditindaklanjuti oleh pelaksanaan syariah secara total dalam kehidupan, karena itulah wujud ketakwaan yang hakiki.

Terakhir, guna menambah kerinduan dan semangat kita mempersiapkan diri menyongsong Ramadhan, hendaklah kita mengingat dan merenungkan kembali pesan-pesan Rasul saw. yang pernah Beliau sampaikan pada akhir bulan Sya’ban. Salman al-Farisi menuturkan, bahwa Rasulullah saw. pernah berkhutbah pada akhir bulan Syaban demikian:

Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah telah menjadikan puasa pada bulan itu sebagai suatu kewajiban dan shalat malamnya sebagai sunnah. Siapa saja yang ber-taqarrub di dalamnya dengan sebuah kebajikan, ia seperti melaksanakan kewajiban pada bulan yang lain. Siapa saja yang melaksanakan satu kewajiban di dalamnya, ia seperti melaksanakan 70 kewajiban pada bulan lainnya.

Bulan Ramadhan adalah bulan sabar; sabar pahalanya adalah surga. Ia juga bulan pelipur lara dan ditambahnya rezeki seorang Mukmin. Siapa saja yang memberikan makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, ia akan diampuni dosa-dosanya dan dibebaskan lehernya dari api neraka. Ia akan mendapatkan pahala orang itu tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.

Para Sahabat berkata, “Kami tidak memiliki sesuatu untuk memberi makan orang yang berpuasa puasa?”

Rasulullah saw. menjawab:

Allah akan memberikan pahala kepada orang yang memberi makan untuk orang yang berbuka berpuasa meski dia hanya memberi sebutir kurma, seteguk air minum atau setelapak susu.

Ramadhan adalah bulan yang awalnya adalah rahmah, pertengahannya adalah maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Siapa saja yang meringankan hamba sahayanya, Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka. Perbanyaklah pada dalam Ramadhan empat perkara, dua perkara yang Tuhan ridhai dan dua perkara yang kalian butuhkan. Dua perkara yang Tuhan ridhai adalah kesaksian Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh dan permohonan ampunan kalian kepada-Nya. Adapun dua perkara yang kalian butuhkan adalah: kalian meminta kepada Allah surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka. (HR Ibn Khuzaimah dalam Shahih Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqi di dalam Syu’âb al-Imân).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

sumber :

http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-islam/index.php/2007/08/21/mempersiapkan-diri-menyambut-ramadhan/


Label:


Baca Selengkapnya!
 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 16.06 | Permalink | 2 comments