Selasa, 04 Desember 2007
Pelajaran Berharga dari Maraknya Aliran Sesat di Indonesia

Pelajaran Berharga dari Maraknya Aliran Sesat
Senin, 19 Nopember 07 - oleh : Muhammad Faruq Al-Murtadlo

Pada minggu-minggu terakhir ini, umat Islam di Indonesia cukup dikejutkan dengan maraknya aliran sesat yang muncul secara tiba-tiba dengan mengatasnamakan Islam. Hampir tiap tahun (seolah-olah terprogram dan terencana) aliran-aliran tersebut bermunculan dengan nama yang berbeda-beda, meskipun secara substansi sama. Yakni, aliran yang pemimpinnya mengaku mendapatkan wahyu dari Allah sehingga mengaku sebagai nabi, mengaku sebagai Isa al-Masih, mengaku mampu berkomunikasi dengan malaikat Jibril, dan hal-hal lain yang bagi umat Islam sudah final dan tetap, tidak boleh diperdebatkan dan diikhtilafkan, karena semuanya sudah dijelaskan secara gamblang, baik dalam Alquran maupun sunah Nabi serta kesepakatan mayoritas atau jumhur ulama.

Fakta aliran sesat di Indonesia

Hanya dalam rentangan waktu selama 6 tahun saja (2001 – 2006) , Jumlah aliran sesat dengan mengatasnamakan Islam yang ada di Indonesia sudah mencapai 250 aliran. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi ternyata 20 persen diantaranya ada di Jawa Barat (www.antara.com, 31/10/07), dan tidak menutup kemungkinan realitas yang ada dilapangan bisa jadi lebih banyak lagi. Sebab, aliran sesat yang ada di Indonesia ini bagaikan “penomena gunung es”, apa yang muncul kepermukaan tidak menunjukan keadaan yang sebenarnya. Sekedar contoh bisa di sebutkan diantaranya:
Kelompok Lia Eden yang mengklaim sudah mendapat wahyu dari malaikat Jibril; Kelompok Al-Qur’an suci yang menyatakan bahwa sunnah tidak berlaku lagi. Mereka tidak mengakui lagi Muhammad sebagai utusan Allah, malah menjadikan pimpinan tertinggi kelompoknya sebagai pengganti Muhammad sebagai rasulullah. Lebih dari itu, mereka juga menghalalkan bersetubuh dengan keluarga dekat; Kelompok Islam Sejati yang ada di kampong Curaheum. Sholat mereka hanya tiga kali dalam sehari (ashar, maghrib, dan isya). Mereka juga mengklaim telah mampu menentukan datangnya kiamat; Kelompok Hidup di Balik Hidup yang ada di Cirebon. Pimpinan kelompok ini juga mengklaim telah mendapat wahyu, bahkan mereka saat ini mampu pulang pergi ke surga dan nereka; Aliran Ahmadiyyah, dengan “rasul”nya Hazrat Mirza Gulam Ahmad; Kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyyah. Dimana pimpinan tertingginya (Ahmad Mussaddeq) mendeklarasikan dirinya sebagai utusan Allah yang baru sebelum akhirnya pada minggu kemarin dia mencabut kembali ucapannya;dll.

Akar masalah maraknya aliran sesat

Maraknya aliran sesat yang ada di Indonesia tentu saja tidak muncul secara kebetulan. Ada beberapa factor pendukung terhadap maraknya aliran sesat ini, yang mana akar masalahnya itu bermuara pada paradigma sekularisme yang di jadikan asas di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Beberapa faktor pendukung tersebut bisa di petakan sebagai berikut:

1. Secara internal.

Pertama, lemahnya penjagaan akidah Islam oleh negara. Sebagaimana yang kita pahami, Indonesia tidak menjadikan agama (Islam) sebagai landasan negaranya. Sehingga kebijakan pemerintah yang keluar sangat sedikit dukungannya terhadap penguatan akidah. Akibatnya tentu saja berdampak negative terhadap fitalitas akidah umat. Misalnya, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (SMA/SMP) maupun di PTN/PTS yang memberikan alokasi waktu belajar agama hanya sekitar 2 jam dalam seminggu, itu pun hanya sebatas pada beberapa aspek ajaran Islam yang berada pada wilayah privat saja semacam thoharoh, sholat, dsb, tanpa kemudian diajarkan ajaran Islam secara komprehensif. Tentu saja hal ini sangat tidak cukup untuk memperkokoh akidah umat. Alokasi pendidikan agama yang minimalis tersebut di perparah pula dengan biaya pendidikan yang mahal. Sehingga tentu saja memberatkan keluarga miskin yang mayoritas beragama Islam di negeri ini. Akhirnya hal tersebut telah menjadi lingkaran setan yang mengungkungi umat Islam di Indonesia.

Ketiadaan sangsi yang tegas sebagimana yang disabdakan oleh Rasulullah, “man baddala diinahu faqtuluuhu” (barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia) (HR Jamaah kecuali Imam Muslim) telah semakin memperparah kerapuhan akidah umat. Padahal dalam perspektif Islam, salah satu tugas utama pemerintah adalah membina, menjaga dan melindungi akidah umat dari segala bentuk penyimpangan, pendangkalan dan pengkaburan serta penodaan.
Kedua, kurangnya pembinaan dan aktivitas dakwah oleh ormas Islam. Dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap aktivitas penjagaan akidah umat, maka hal ini telah berdampak pula terhadap kekurang optimalan ormas Islam dalam melakukan pembinaan ditengah-tengah umat.

Ketiga, faktor ekonomi. Tentu kita masih teringat akan sabda Rasul, bahwa “kefakiran itu membawa kepada kekufuran”. Faktanya, hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2006 kemarin, hidup dibawah garis kemiskinan. Padahal kemiskinan ini merupakan suatu conditio sine qua non, yakni suatu kondisi dimana tindak kejahatan (jarimah) itu kemungkinan besar akan muncul. Dalam Islam, termasuk tindak kejahatan ketika seseorang mengaku-ngaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Contoh kasus, untuk aliran al-Qiyadah al-islamiyyah, sebagimana laporan dari Sekretaris Jenderal ALUMI, Ihsan S Latief, bahwa aliran ini mengharuskan kepada anggotanya menyerahkan uang sebesar Rp 750 ribu untuk mendapatan surat pengampunan dosa. Seandainya anggota aliran ini berjumlah 100 orang, dana yang terkumpul pada pimpinan aliran ini tidak kurang dari Rp. 75.000.000,-. Apalagi jika benar sebagaimana yang di klaim oleh pimpinan aliran ini, bahwa anggotanya sudah berjumlah lebih dari 40 ribu orang. Tentu saja hal tersebut jika dilihat dari sudut pandang kewirausahaan merupakan sebuah “usaha” yang sangat menguntungkan.

2. Secara eksternal

Pertama, adanya sebuah konspirasi untuk menstigmatisasi (cap negative) ajaran Islam, diantaranya dengan memakai istilah istilah Islam. Bisa kita perhatikan bahwa aliran-aliran yang muncul seringkali menggunakan istilah-istilah Islam. Misalnya Islam sejati, Al-Qur’an suci dan sebagainya. Atau kita bisa melihat pada kasus munculnya kelompok “Komando Jihad” di era 70-an (di masa Ali Murtopo). Yang ternyata dikemudian hari terungkap bahwa hal itu sebagai skenario intelegen untuk memberikan cap negative terhadap jihad. Padahal jihad itu merupakan salah satu ajaran Islam yang akan tetap ada sampai hari akhir. Pun demikian halnya ketika aliran sesat tadi menggunakan kata-kata bai’at, khilafah dan sebagainya. Padahal sebagaimana sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “man maata laisa fii ‘unuqihi baiah maata miitatan jahiiliyah” (barang siapa yang mati sedangkan diatas pundaknya tidak ada bai’at kepada seorang Imam/kholifah, maka matinya mati jahiliyyah). Sehingga tidak heran banyak pula kaum muslim terjebak pada konspirasi ini yang pada akhirnya masyarakat jadi mudah mengganggap sesat pada ajaran Islam yang masih asing bagi mereka.

Kedua, Penanaman sikap saling curiga sehingga menjauhkan ukhuwah. Yang mana Pada kondisi ini upaya – upaya untuk memprovokasi sesama muslim hingga terjadinya bentrokan fisik sangat mudah dilakukan.

Keriga, Akhirnya kita pun paham bahwa maraknya aliran sesat di Indonesia ini tidak terlepas dari skenario asing untuk menghancurkan umat Islam bahkan Islam itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan dari Ketua Umum IKADI Prof.Dr Ahmad Satori Ismail, ketika beliau mengintrograsi salah satu pimpinan aliran sesat beberapa waktu lalu. Dalam hal ini kita harus waspada bahwa umat Islam sedang terus dihancurkan. Isu war on terrorism yang diusung musuh-musuh Islam tidak mampu merobohkan Islam dan perjuangan penerapan Islam. Kini isu aliran sesat digulirkan untuk tujuan yang sama

Islam punya solusi

Memang benar, perlu disadari bahwa ajaran Islam mengakui ikhtilaf (perbedaan) diantara pemeluknya. Hal tersebut setidaknya disebabkan oleh dua factor yang mana kedua-duanya tidak dipermasalahkan dalam Islam. Factor pertama, muncul dari realitas nash (dalil) – berupa al-Qur’an maupun al-Hadist – yang tidak sedikit mengandung lebih dari satu makna (nash zanni). Factor kedua, tidak lain dari subyek yang memahami nash itu sendiri (factor intelektual) yang pada faktanya tidak sedikit pula dari masing-masing subyek tersebut menghasilkan suatu pemahaman yang berbeda terhadap satu nash. Walaupun demikian, yang harus digaris bawahi di sini bahwa ikhtilaf tersebut hanya ada dan di bolehkan pada wilayah nash zanni bukan pada nash qath’i. sehingga dari sana terbukalah pintu ijtihad. Tentu, bagi mereka yang sudah memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid.

Standarisasi sebuah kelompok itu dikatakan sesat atau tidak harus dikembalikan kepada pandangan dan pemikiran yang dianutnya, yakni Islam. Misalnya, Islam telah menetapkan sejumlah pemikiran dasar, baik yang kemudian disebut rukun Islam, rukun iman, maupun sejumlah pemikiran yang dinyatakan oleh dalil-dalil yang qath'i. Jika ada kelompok yang mengklaim sebagai kelompok Islam, tetapi pandangan dan pemikirannya bertentangan dengan sejumlah pemikiran dasar di atas, maka kelompok tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kelompok Islam.

Kalau kemudian di dalam negara Khilafah ada kelompok seperti ini, maka langkah-langkah negara untuk menanganinya antara lain :
Pertama, Negara harus melakukan itsbât (mengambil keputusan tetap), bahwa kelompok tersebut dinyatakan telah keluar dari Islam, setelah melakukan sejumlah pembuktian, dengan bukti-bukti yang qath'i, sebagaimana sabda Nabi saw.:



“Dimana kalian mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan di sisi Allah, tentang kekufurannya.”

Dengan adanya kepastian hukum tersebut, maka vonis kafir atau murtad bisa dijatukan pada kelompok tersebut.
Kedua, Negara harus meminta mereka untuk bertobat, agar kembali ke pangkuan Islam. Caranya, bisa dengan dilakukan debat intelektual (wa jâdilhum billati hiya ahsan), dengan meruntuhkan apa yang sebelumnya menjadi keyakinannya, kemudian membangun keyakinan yang baru terhadap Islam. Kalau ini tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan memberikan mau'izhah wa tadzkîr (nasihat dan peringatan), termasuk mengingatkan akan konsekuensi dari masing-masing pilihan yang diambilnya. Inilah yang ditempuh oleh Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn Abbas untuk melakukan debat dengan Khawarij sehingga sebagian besar di antara mereka akhirnya insyaf dan kembali ke pangkuan Islam. Ketika Musailamah al-Kadzdzab muncul pada tahun ke-10 H, Rasulullah tidak langsung memeranginya, melainkan memberinya peringatan melalui surat, yang beliau kirimkan kepada Musailamah.

Ketiga, Jika cara yang kedua gagal, Negara akan memerangi mereka. Khususnya, mereka yang tetap bertahan dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, mereka diperangi sebagai ahl ar-riddah (orang murtad). Setelah Musailamah diberi peringatan oleh Rasulullah saw., tetapi dia tetap bergeming, kemudian setelah itu Rasulullah saw. wafat, maka Abu Bakar ash-Shiddiq melanjutkan misi Rasulullah saw. dengan memerangi kelompok Musailamah. Abu Bakar juga telah memerangi kelompok ahl ar-riddah yang lain, termasuk mereka yang menolak membayar zakat.

Dalam konteks Indonesia, upaya menindak aliran sesat yang marak saat ini tampak masih dilakukan setengah hati, sehingga pemerintah terkesan kebingungan dan ragu-ragu. Betapa tidak, ditinggalkannya Islam sebagai asas negera telah menjadikan negeri yang mayoritas penduduknya umat Islam ini berada pada posisi yang dilematis. Contoh kasus untuk al-Qiyadah al-Islamiyah misalnya, aliran ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu sebelum di ketahui publik pada tahun 2007. bahkan beberapa tahun sebelumnya MUI sendiri sudah melaporkannya pada pemerintah untuk di tindak lanjuti lebih lanjut. Namun sayangnya, pemerintah membiarkan aliran sesat tersebut terus berkembang sehingga sampai menimbulkan keresahan di tengah-tengah umat.

Terlepas dari itu semua, kita tentu saja mendukung upaya – upaya yang dilakukan oleh lembaga negara semacam Badan Koordinasi Pengawas Aliran dan Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) – meski agak sedikit lambat – secara resmi telah melarang salah satu aliran sesat yang ada di Indonsia (al-Qiyadah al-islamiyyah). Kita berharap Bakorpakem tidak berhenti hanya pada kasus al Qiyadah al Islamiyyah saja, tapi juga pada seluruh aliran sesat yang saat ini masih merajalela di tengah masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lia Eden dan lainnya. Mestinya, aliran-aliran sesat itu juga harus segera dilarang. Jangan sampai muncul di tengah umat suatu anggapan bahwa pemerintah melakukan tebang pilih dalam pelarangan aliran sesat itu.

Kita mendukung pula pihak kepolisian dalam menangkap beberapa tokoh aliran sesat ini. Sebab dalam perspektif Islam, adanya aliran sesat, pemurtadan dan semacamnya di tengah-tengah masyarakat dapat mengakibatkan keamanan masyarakat terganggu sehingga diperlukan peran polisi (syurthah) yang mana salah satu perannya adalah menjaga keamanan dalam negeri, dan jika di perlukan, polisi (syurthah) ini bisa sampai ditugasi untuk memerangi kelompok aliran sesat yang menolak kembali pada ajaran Islam yang lurus.

Kita juga sangat apresiatif terhadap peran MUI sebagai lembaga yang telah cukup berani mengeluarkan fatwa tentang kesesatan suatu aliran, sehingga umat memiliki sandaran yang jelas kepada siapa loyalitas mereka akan diserahkan. Kita juga mensuport MUI dalam menjalankan perannya yang lain untuk kemaslahatan umat. Diantaranya, sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (Warasat al-anbiya) yakni memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam; sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ra'iy wa khadim al ummah), dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak langsung, akan bimbingan dan fatwa keagamaan; sebagai penegak amar makruf dan nahyi munkar serta peran-perannya yang lain demi kemasahatan umat

Ikhtitam

Dari uraian diatas jelaslah bahwa maraknya aliran sesat di Indonesia saat ini, merupakan salah satu “masalah akibat” dari di tinggalkannya agama (Islam) dari pengurusan kehidupan kita. Sistem sekuler yang di paksakan di negeri ini terbukti gagal menjaga akidah umat. Kita tentu saja tidak ingin akidah umat ini disimpangkan serta dinodai oleh siapapun dalam bentuk apapun. Hanya negara khilafah sajalah yang mampu menghentikan segala bentuk penyimpangan, penodaan, pengkaburan serta pendangkalan terhadap akidah umat.
Inilah pelajaran berharga dari maraknya aliran sesat. Dan sebagai bukti bahwa kita sudah mengambil pelajaran itu, segeralah campakan sekularisme lalu berjuanglah menegakkan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah !

Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.

sumber www.gemapembebasan.or.id

Label:

 
posted by Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kom. UNM at 02.58 | Permalink |


0 Comments: