Semua gerakan Islam meyakini bahwa penegakan khilafah adalah penting. Demikian menurut Ketua Fraksi PKS DPR, Mahfudz Sidik. Perbedaan yang prinsip antara konsep khilafah dengan kepemimpinan yang lain (non Islam): Pertama, khilafah Islamiyah itu adalah kepemimpinan yang disepakati, satu kepemimpinan yang berdasar kepada syariat dan misi Islam. Ada aturan-aturan tentang bagaimana kepemimpinan yang mengikat. Bukan saja pemimpinannya tapi juga rakyat meneguhkan loyalitasnya kepada para pemimpin itu. Tapi dasar ikatan kepemimpinan itu harus betul-betul berlandaskan dan sesuai ajaran Islam.
Kedua, kekhalifahan Islam ini adalah kekhalifahan untuk kemudian mendayagunakan semua potensi umat Islam untuk kepentingan seluruh negeri-negeri Islam. Karena itu tak boleh lagi ada Negara Islam yang terjebak pada nasionalisme sempit pada kepentingan pembangunan lokal. Tapi bagaimana kemudian berbicara memajukan umat dan mendayagunakan potensinya untuk kepentingan umat Islam dunia. Artinya gerakan-gerakan itu bagaimana mendayagunakan potensi dengan berbagai cara untuk kemajuan bersama, tidak bergerak sendiri-sendiri, dan terjebak pada paham nasionalisme yang sempit.
“Konsep khilafah ini adalah salah satu format kepemimpinan Islam yang bersifat alamiyah (global-red). Khilafah adalah perwujudan konsep Islam yang memiliki misi rahmatan lil 'alamin. Selain secara historis Rasulullah dan para penerusnya juga telah melakukan eksistensi dakwah tentang Islam, karena itu Islam tersebar di hampir seluruh wilayah dunia. Saya kira ini bukan hanya warisan sejarah tapi juga bagian dari prinsip alamiyah dari ajaran dan misi Islam, " jelas Mahfudz.
Justru yang sering ditanyakan adalah bagaimana upaya untuk menempuh cita-cita khilafah itu sendiri. Dalam pandangan alumni FISIP UI ini, tentu saja harus berangkat dari upaya-upaya menegakkan kepemimpinan Islam di skala lokal. Dalam konteks negara-negara muslim yang ada di berbagai kawasan.
"Artinya itu menjadi icon atau kesiapan negara-negara muslim itu memiliki konsensi (kesepakatan) untuk menegakkan khilafah Islamiyah. Sekarang ini proses panjang yang harus dilalui oleh bukan hanya gerakan Islam tapi juga pemimpin Islam di berbagai negeri muslim adalah menegaskan eksistensi pemerintahan Islam di masing-masing Negara dan perlunya mewujudkan kepemimpinan Islam itu di Negara muslim, " katanya.
Dengan demikian, bila masing-masing negara sudah mengupayakan pemerintahan yang Islami, tegaknya khilafah itu sudah dekat. Itu yang menurut Mahdfudz Sidik perlu dipahami. Jadi hematnya, agenda khilafah ini bukan agenda domestik semata. "Karena itu sebetulnya keberadaan negara-negara muslim (daulah Islamiyah) adalah satu realitas yang kini ada. Meski pun masing-masing negara berbeda dari sisi kepemimpinan, penerapan syariahnya itu berbeda satu dengan yang lain, " terangnya.
Singkatnya, memulai proses khilafah itu bisa dari masing-masing negara. Kuncinya adalah ukhuwah. Harus ada koordinasi antar pemimpin negara-negara yang akan mewujudkan khilafah ini.
Sekarang ini memang orang bisa saja melihat sudah ada forum kerjasama semacam OKI. Persoalannya, lembaga ini harus mendapat pengakuan forum. Forum komunikasi dan koordinasi yang cenderung politis, sudah ada agenda yang jelas dan berkesinambungan. Paling tidak ada model kepemimpinan bersama yang jelas. "Itu baru bisa kita lakukan ketika pemimpin-pemimpin Islam meneguhkan kembali komitmennya untuk mewujudkan keadilan dan menegakkan agama (iqomatuddin), jika kepahaman ini tertanam bersama maka langkah menuju ke sana lebih mudah, " tegas Mahfudz Sidik.
Bagaimana dengan Indonesia, apa format penegakan syariat Islam konteks Indonesia yang pas? Umat Islam Indonesia, masih kata Mahfudz Sidik, memiliki pengalaman sejarah sendiri. Ketika penegakan syariat Islam lewat jalur formal sulit dilakukan, ketika kondisi kultural masyarakat belum berorintasi kepada Islam, solusinya adalah melakukan secara sistemik upaya dakwah Islam, membangun kesadaran dan membangun orientasi masyarakat kepada Islam. Agar ada kebutuhan masyarakat terhadap ajaran Islam.
Pada saat yang sama ada gerakan-gerakan Islam yang bekerja untuk mengadvokasi ajaran Islam ke dalam lembaga-lembaga formal di republik ini. "Jika dua arus ini ketemu, arus kultural (informal) dan struktural (formal), maka perubahan-perubahan ke arah penegakan syariah Islam itu akan lebih mudah dibanding gerakan yang dilakukan hanya oleh salah satu arus saja, " paparnya lagi.
Karena Khilafah perkara global maka gerakan menegakkannya harus berjalan simultan alias tidak bisa parsial. Karena itu sangat penting bahwa elemen umat yang bergerak di dua arus ini (Kultural dan struktural) harus saling bertemu, berkomunikasi untuk saling bekerjasama dalam hal yang disepakati dan toleran terhadap perbedaan yang furu. Bukannya malah saling menegasikan (menafikan/meniadakan) atau saling melemahkan satu sama lain.
"Saya kira komunikasilah yang harus kita kembangkan. Bila komunikasi terbangun baik, maka kita bisa menempatkan perbedaan pada ruang toleransi yang memadai menuju persamaan-persamaan untuk kita sepakati, " ujarnya.
Sumber : eramuslim.com
Kedua, kekhalifahan Islam ini adalah kekhalifahan untuk kemudian mendayagunakan semua potensi umat Islam untuk kepentingan seluruh negeri-negeri Islam. Karena itu tak boleh lagi ada Negara Islam yang terjebak pada nasionalisme sempit pada kepentingan pembangunan lokal. Tapi bagaimana kemudian berbicara memajukan umat dan mendayagunakan potensinya untuk kepentingan umat Islam dunia. Artinya gerakan-gerakan itu bagaimana mendayagunakan potensi dengan berbagai cara untuk kemajuan bersama, tidak bergerak sendiri-sendiri, dan terjebak pada paham nasionalisme yang sempit.
“Konsep khilafah ini adalah salah satu format kepemimpinan Islam yang bersifat alamiyah (global-red). Khilafah adalah perwujudan konsep Islam yang memiliki misi rahmatan lil 'alamin. Selain secara historis Rasulullah dan para penerusnya juga telah melakukan eksistensi dakwah tentang Islam, karena itu Islam tersebar di hampir seluruh wilayah dunia. Saya kira ini bukan hanya warisan sejarah tapi juga bagian dari prinsip alamiyah dari ajaran dan misi Islam, " jelas Mahfudz.
Justru yang sering ditanyakan adalah bagaimana upaya untuk menempuh cita-cita khilafah itu sendiri. Dalam pandangan alumni FISIP UI ini, tentu saja harus berangkat dari upaya-upaya menegakkan kepemimpinan Islam di skala lokal. Dalam konteks negara-negara muslim yang ada di berbagai kawasan.
"Artinya itu menjadi icon atau kesiapan negara-negara muslim itu memiliki konsensi (kesepakatan) untuk menegakkan khilafah Islamiyah. Sekarang ini proses panjang yang harus dilalui oleh bukan hanya gerakan Islam tapi juga pemimpin Islam di berbagai negeri muslim adalah menegaskan eksistensi pemerintahan Islam di masing-masing Negara dan perlunya mewujudkan kepemimpinan Islam itu di Negara muslim, " katanya.
Dengan demikian, bila masing-masing negara sudah mengupayakan pemerintahan yang Islami, tegaknya khilafah itu sudah dekat. Itu yang menurut Mahdfudz Sidik perlu dipahami. Jadi hematnya, agenda khilafah ini bukan agenda domestik semata. "Karena itu sebetulnya keberadaan negara-negara muslim (daulah Islamiyah) adalah satu realitas yang kini ada. Meski pun masing-masing negara berbeda dari sisi kepemimpinan, penerapan syariahnya itu berbeda satu dengan yang lain, " terangnya.
Singkatnya, memulai proses khilafah itu bisa dari masing-masing negara. Kuncinya adalah ukhuwah. Harus ada koordinasi antar pemimpin negara-negara yang akan mewujudkan khilafah ini.
Sekarang ini memang orang bisa saja melihat sudah ada forum kerjasama semacam OKI. Persoalannya, lembaga ini harus mendapat pengakuan forum. Forum komunikasi dan koordinasi yang cenderung politis, sudah ada agenda yang jelas dan berkesinambungan. Paling tidak ada model kepemimpinan bersama yang jelas. "Itu baru bisa kita lakukan ketika pemimpin-pemimpin Islam meneguhkan kembali komitmennya untuk mewujudkan keadilan dan menegakkan agama (iqomatuddin), jika kepahaman ini tertanam bersama maka langkah menuju ke sana lebih mudah, " tegas Mahfudz Sidik.
Bagaimana dengan Indonesia, apa format penegakan syariat Islam konteks Indonesia yang pas? Umat Islam Indonesia, masih kata Mahfudz Sidik, memiliki pengalaman sejarah sendiri. Ketika penegakan syariat Islam lewat jalur formal sulit dilakukan, ketika kondisi kultural masyarakat belum berorintasi kepada Islam, solusinya adalah melakukan secara sistemik upaya dakwah Islam, membangun kesadaran dan membangun orientasi masyarakat kepada Islam. Agar ada kebutuhan masyarakat terhadap ajaran Islam.
Pada saat yang sama ada gerakan-gerakan Islam yang bekerja untuk mengadvokasi ajaran Islam ke dalam lembaga-lembaga formal di republik ini. "Jika dua arus ini ketemu, arus kultural (informal) dan struktural (formal), maka perubahan-perubahan ke arah penegakan syariah Islam itu akan lebih mudah dibanding gerakan yang dilakukan hanya oleh salah satu arus saja, " paparnya lagi.
Karena Khilafah perkara global maka gerakan menegakkannya harus berjalan simultan alias tidak bisa parsial. Karena itu sangat penting bahwa elemen umat yang bergerak di dua arus ini (Kultural dan struktural) harus saling bertemu, berkomunikasi untuk saling bekerjasama dalam hal yang disepakati dan toleran terhadap perbedaan yang furu. Bukannya malah saling menegasikan (menafikan/meniadakan) atau saling melemahkan satu sama lain.
"Saya kira komunikasilah yang harus kita kembangkan. Bila komunikasi terbangun baik, maka kita bisa menempatkan perbedaan pada ruang toleransi yang memadai menuju persamaan-persamaan untuk kita sepakati, " ujarnya.
Sumber : eramuslim.com
Label: News
« back home