Oleh : Fahmi AP Pane
Anggota Lembaga Penerbitan dan Media Massa DPP Partai Persatuan Pembangunan
Usulan Fraksi Golkar, PDIP dan Demokrat untuk mengubah klausul asas partai dalam UU Partai Politik dari ‘tidak boleh bertentangan’ menjadi ‘harus berasaskan’ Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diluruskan. Anggota ketiga fraksi DPR RI tersebut mengaitkan konflik, separatisme, perda bernuansa syariah, dan kerapuhan sendi negara dengan tidak dipakainya Pancasila sebagai satu-satunya asas partai (Republika, 13-14 September 2007).
Namun, rekayasa asas tunggal lebih memperlihatkan ketakutan berlebihan terhadap Islam ketimbang ingin menerapkan Pancasila. Buktinya, mereka yang berlatar belakang partai berasas Pancasila juga tidak luput dari korupsi, bahkan sempat melindungi kadernya yang menjadi terpidana korupsi, menjual aset bangsa kepada asing, menyerahkan ruang milik bangsa demi uang, liberalisasi pendidikan, dan lain-lain. Selain itu, ada kekhawatiran kemenangan partai-partai Islam, seperti terjadi di Aljazair, Palestina, Mesir, dan Turki, akan memengaruhi peta politik Indonesia. Sekalipun tidak eksplisit menyebut asas Islam sebagai penyebab konflik dan separatisme, namun opini anggota DPR dari Golkar, Idrus Marham, yang mengaitkan asas Islam dalam berpartai dengan kedua hal tersebut jelas tidak berdasar. Faktanya, Islam justru pencegah konflik dan peredam separatisme, seperti terbukti di Aceh. Setelah jatuhnya orde baru yang mewajibkan asas tunggal Pancasila, Presiden BJ Habibie mengubah strategi dengan mengembalikan keistimewaan Aceh melalui legalisasi syariah Islam, meski sebatas aspek ibadah, adat, pendidikan dan peran ulama, selain yang sudah diberlakukan, semacam hukum pernikahan, warisan, perbankan, dan lain-lain.
Implementasi syariah Islam adalah pintu masuk perdamaian Aceh. Menurut Mayjen (purn) Sulaiman AB (2005:108-109), pemerintahan Habibie menilai penerapan syariat Islam adalah alternatif solusi. Perundingan Helsinki memang menentukan, tapi tanpa penerapan syariah Islam, juga bencana gempa-tsunami, mustahil terjadi pengalihan wacana berpikir rakyat Aceh, yang sebelumnya terobsesi referendum dan kemerdekaan.
Implementasi Syariat Islam secara terbatas itu adalah counter ideas (wacana tandingan). Lahirnya UU Nomor 44/1999 dan UU Nomor 18/2001, dan akhirnya UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, adalah karena disetujui oleh partai/fraksi, baik yang berasas Pancasila maupun Islam. Partai-partai berasas Pancasila (Golkar dan PDIP) adalah dua partai terbesar yang kumulasi suaranya melebihi 50 persen.
Fakta berbicara
Indonesia memang masih menghadapi persoalan konflik dan separatisme. Namun, itu terjadi di Maluku dan Papua, yang tidak didominasi kaum Muslimin dan partai berasas Islam. Sebaliknya, Golkar dan PDIP lah yang menguasai daerah yang masih menyisakan persoalan konflik dan separatisme tersebut. Golkar dan PDIP meraih 11 dan 10 kursi dari 45 kursi DPRD Provinsi Maluku. Sementara dua partai berasas Islam terbesar, PPP dan PKS hanya meraup empat dan lima kursi. Adapun di Papua yang masih kental dengan separatisme dan rekayasa negara asing, ada tiga partai dominan, yakni Golkar (15 dari 58 kursi DPRD Papua), PDIP (delapan), dan PDS (enam). PPP dan PKS masing-masing hanya mendapat satu kursi.
Selanjutnya, mengenai penerapan perda syariah, yang menjadi argumentasi penolakan asas Islam dalam berpolitik dan berpartai, antara lain disampaikan anggota DPR dari PDIP, Ganjar Pranowo. Penting dicatat, sampai saat ini hanya penerapan syariah Islam di Aceh yang dapat disebut sebagai penerapan perda-perda bernuansa atau perda-perda syariah Islam. Adapun daerah-daerah lain tidak bisa disebut menerapkan perda syariah Islam karena Islam bukan sumber hukum perda-perda tersebut, meskipun perda-perda itu juga tidak bertentangan dengan Islam.
Alasan berikutnya adalah perda-perda itu bertumpu pada penjagaan moralitas publik, serta tujuan penciptaan ketertiban dan keamanan umum, sebagai salah satu amanat UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan, di beberapa daerah seperti Jawa Barat, perda pengaturan minuman keras dibuat sejak era Soeharto. Jika dikaitkan dengan alasan penunggalan asas partai, maka alasan munculnya perda-perda yang dianggap bernuansa syariah Islam itu justru memukul balik ide tersebut.
Daerah-daerah yang getol menerapkan perda demikian adalah daerah-daerah yang didominasi Partai Golkar, yang berasaskan Pancasila. Kita bisa telisik misalnya pada tiga daerah di Sulawesi Selatan yang dianggap termaju dalam penerapan perda yang disebut bernuansa syariah Islam, yakni Kabupaten Bulukumba, Takalar, dan Maros. Data Pemilu 2004 menunjukkan Golkar meraih 11 kursi dari 35 kursi DPRD Kabupaten Bulukumba, sedangkan PPP dan PKS meraih empat dan dua kursi. Di Kabupaten Takalar, Golkar menyapu 16 dari 30 kursi DPRD, sedangkan PPP dan PKS hanya mendapat satu dan dua kursi. Begitu pula, di Kabupaten Maros, Golkar meraup 13 dari 30 kursi, sedangkan PPP dan PKS masing-masing dua dan tiga kursi.
Ada pengecualian, di Provinsi Bali yang didominasi PDIP (28 dari 52 kursi DPRD Bali), dan Golkar (13 kursi) tidak ada penerapan perda bernuansa syariah Islam, tapi justru hukum, adat dan ibadat Hindu Bali yang mengikat semua penganut agama, termasuk Muslim. Sementara itu, di daerah Manokwari yang didominasi Golkar dan PDIP diupayakan Perda Kota Injil. Jadi, perda-perda yang disebut bernuansa syariah Islam dibuat di daerah-daerah yang didominasi partai berasas Pancasila, dan kepala daerah yang dicalonkannya. Begitu pula perda-perda berbasis agama lain, diinisiasi oleh partai-partai serupa, yang ironisnya diberlakukan untuk semua pemeluk agama.
Partisipasi politik
Rekayasa asas tunggal sebenarnya melengkapi upaya lain untuk mengembalikan hegemonic party system, seperti strategi orde baru. Rekayasa lain adalah membentuk pemilihan sistem distrik di DPRD kabupaten/kota, menghambat kepengurusan partai di level kecamatan, desa/kelurahan hingga RT/RW, pengaturan anggota DPRD oleh surat edaran mendagri dan sebagainya. Namun, itu menjadi tidak mudah karena persaingan sesama partai sekuler justru lebih keras karena pasar pemilih yang diperebutkan sama. Apalagi, Partai Demokrat dan PAN paling beruntung dengan sistem Pemilu 2004, di mana persentase perolehan kursinya jauh di atas suaranya. Mereka ‘merebut’ kursi Golkar dan PDIP. Dampak pemaksaan asas tunggal adalah turunnya partisipasi politik rakyat dalam proses politik formal, yang terlihat pada Pemilu 1997. Namun, ketika aturan asas tunggal dicabut, angka golput menurun tajam, meski naik lagi pada Pemilu 2004 akibat gagalnya partai dan lembaga-lembaga negara dalam menyerap aspirasi rakyat, membantu menyelesaikan problematika, dan meningkatkan kesejahteraannya.
Sebenarnya, telah diungkap banyak kalangan, antara lain Prof Mahfud MD (2007:243) bahwa Pancasila adalah hasil kompromi dari perjuangan pemberlakuan Islam. Karenanya, masuk akal untuk tidak mempertentangkan Islam dan Pancasila.
Ikhtisar
* Ide sebagian kalangan di DPR soal penyeragaman asas parpol yakni Pancasila perlu mendapat pelurusan.
* Tuduhan bahwa asas Islam dalam parpol menjadi pemicu konflik, separatisme, dan wacana perda bernuansa syariah Islam, sangat tidak beralasan.
* Fakta menunjukkan bahwa konflik, separatisme, dan wacana perda syariah justru muncul di daerah yang parpol berasas Pancasilanya kuat.
* Penyeragaman asas sangat berpotensi menurunkan partisipasi politik masyarakat.
Sumber: http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=307525&kat_id=16
Anggota Lembaga Penerbitan dan Media Massa DPP Partai Persatuan Pembangunan
Usulan Fraksi Golkar, PDIP dan Demokrat untuk mengubah klausul asas partai dalam UU Partai Politik dari ‘tidak boleh bertentangan’ menjadi ‘harus berasaskan’ Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diluruskan. Anggota ketiga fraksi DPR RI tersebut mengaitkan konflik, separatisme, perda bernuansa syariah, dan kerapuhan sendi negara dengan tidak dipakainya Pancasila sebagai satu-satunya asas partai (Republika, 13-14 September 2007).
Namun, rekayasa asas tunggal lebih memperlihatkan ketakutan berlebihan terhadap Islam ketimbang ingin menerapkan Pancasila. Buktinya, mereka yang berlatar belakang partai berasas Pancasila juga tidak luput dari korupsi, bahkan sempat melindungi kadernya yang menjadi terpidana korupsi, menjual aset bangsa kepada asing, menyerahkan ruang milik bangsa demi uang, liberalisasi pendidikan, dan lain-lain. Selain itu, ada kekhawatiran kemenangan partai-partai Islam, seperti terjadi di Aljazair, Palestina, Mesir, dan Turki, akan memengaruhi peta politik Indonesia. Sekalipun tidak eksplisit menyebut asas Islam sebagai penyebab konflik dan separatisme, namun opini anggota DPR dari Golkar, Idrus Marham, yang mengaitkan asas Islam dalam berpartai dengan kedua hal tersebut jelas tidak berdasar. Faktanya, Islam justru pencegah konflik dan peredam separatisme, seperti terbukti di Aceh. Setelah jatuhnya orde baru yang mewajibkan asas tunggal Pancasila, Presiden BJ Habibie mengubah strategi dengan mengembalikan keistimewaan Aceh melalui legalisasi syariah Islam, meski sebatas aspek ibadah, adat, pendidikan dan peran ulama, selain yang sudah diberlakukan, semacam hukum pernikahan, warisan, perbankan, dan lain-lain.
Implementasi syariah Islam adalah pintu masuk perdamaian Aceh. Menurut Mayjen (purn) Sulaiman AB (2005:108-109), pemerintahan Habibie menilai penerapan syariat Islam adalah alternatif solusi. Perundingan Helsinki memang menentukan, tapi tanpa penerapan syariah Islam, juga bencana gempa-tsunami, mustahil terjadi pengalihan wacana berpikir rakyat Aceh, yang sebelumnya terobsesi referendum dan kemerdekaan.
Implementasi Syariat Islam secara terbatas itu adalah counter ideas (wacana tandingan). Lahirnya UU Nomor 44/1999 dan UU Nomor 18/2001, dan akhirnya UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, adalah karena disetujui oleh partai/fraksi, baik yang berasas Pancasila maupun Islam. Partai-partai berasas Pancasila (Golkar dan PDIP) adalah dua partai terbesar yang kumulasi suaranya melebihi 50 persen.
Fakta berbicara
Indonesia memang masih menghadapi persoalan konflik dan separatisme. Namun, itu terjadi di Maluku dan Papua, yang tidak didominasi kaum Muslimin dan partai berasas Islam. Sebaliknya, Golkar dan PDIP lah yang menguasai daerah yang masih menyisakan persoalan konflik dan separatisme tersebut. Golkar dan PDIP meraih 11 dan 10 kursi dari 45 kursi DPRD Provinsi Maluku. Sementara dua partai berasas Islam terbesar, PPP dan PKS hanya meraup empat dan lima kursi. Adapun di Papua yang masih kental dengan separatisme dan rekayasa negara asing, ada tiga partai dominan, yakni Golkar (15 dari 58 kursi DPRD Papua), PDIP (delapan), dan PDS (enam). PPP dan PKS masing-masing hanya mendapat satu kursi.
Selanjutnya, mengenai penerapan perda syariah, yang menjadi argumentasi penolakan asas Islam dalam berpolitik dan berpartai, antara lain disampaikan anggota DPR dari PDIP, Ganjar Pranowo. Penting dicatat, sampai saat ini hanya penerapan syariah Islam di Aceh yang dapat disebut sebagai penerapan perda-perda bernuansa atau perda-perda syariah Islam. Adapun daerah-daerah lain tidak bisa disebut menerapkan perda syariah Islam karena Islam bukan sumber hukum perda-perda tersebut, meskipun perda-perda itu juga tidak bertentangan dengan Islam.
Alasan berikutnya adalah perda-perda itu bertumpu pada penjagaan moralitas publik, serta tujuan penciptaan ketertiban dan keamanan umum, sebagai salah satu amanat UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan, di beberapa daerah seperti Jawa Barat, perda pengaturan minuman keras dibuat sejak era Soeharto. Jika dikaitkan dengan alasan penunggalan asas partai, maka alasan munculnya perda-perda yang dianggap bernuansa syariah Islam itu justru memukul balik ide tersebut.
Daerah-daerah yang getol menerapkan perda demikian adalah daerah-daerah yang didominasi Partai Golkar, yang berasaskan Pancasila. Kita bisa telisik misalnya pada tiga daerah di Sulawesi Selatan yang dianggap termaju dalam penerapan perda yang disebut bernuansa syariah Islam, yakni Kabupaten Bulukumba, Takalar, dan Maros. Data Pemilu 2004 menunjukkan Golkar meraih 11 kursi dari 35 kursi DPRD Kabupaten Bulukumba, sedangkan PPP dan PKS meraih empat dan dua kursi. Di Kabupaten Takalar, Golkar menyapu 16 dari 30 kursi DPRD, sedangkan PPP dan PKS hanya mendapat satu dan dua kursi. Begitu pula, di Kabupaten Maros, Golkar meraup 13 dari 30 kursi, sedangkan PPP dan PKS masing-masing dua dan tiga kursi.
Ada pengecualian, di Provinsi Bali yang didominasi PDIP (28 dari 52 kursi DPRD Bali), dan Golkar (13 kursi) tidak ada penerapan perda bernuansa syariah Islam, tapi justru hukum, adat dan ibadat Hindu Bali yang mengikat semua penganut agama, termasuk Muslim. Sementara itu, di daerah Manokwari yang didominasi Golkar dan PDIP diupayakan Perda Kota Injil. Jadi, perda-perda yang disebut bernuansa syariah Islam dibuat di daerah-daerah yang didominasi partai berasas Pancasila, dan kepala daerah yang dicalonkannya. Begitu pula perda-perda berbasis agama lain, diinisiasi oleh partai-partai serupa, yang ironisnya diberlakukan untuk semua pemeluk agama.
Partisipasi politik
Rekayasa asas tunggal sebenarnya melengkapi upaya lain untuk mengembalikan hegemonic party system, seperti strategi orde baru. Rekayasa lain adalah membentuk pemilihan sistem distrik di DPRD kabupaten/kota, menghambat kepengurusan partai di level kecamatan, desa/kelurahan hingga RT/RW, pengaturan anggota DPRD oleh surat edaran mendagri dan sebagainya. Namun, itu menjadi tidak mudah karena persaingan sesama partai sekuler justru lebih keras karena pasar pemilih yang diperebutkan sama. Apalagi, Partai Demokrat dan PAN paling beruntung dengan sistem Pemilu 2004, di mana persentase perolehan kursinya jauh di atas suaranya. Mereka ‘merebut’ kursi Golkar dan PDIP. Dampak pemaksaan asas tunggal adalah turunnya partisipasi politik rakyat dalam proses politik formal, yang terlihat pada Pemilu 1997. Namun, ketika aturan asas tunggal dicabut, angka golput menurun tajam, meski naik lagi pada Pemilu 2004 akibat gagalnya partai dan lembaga-lembaga negara dalam menyerap aspirasi rakyat, membantu menyelesaikan problematika, dan meningkatkan kesejahteraannya.
Sebenarnya, telah diungkap banyak kalangan, antara lain Prof Mahfud MD (2007:243) bahwa Pancasila adalah hasil kompromi dari perjuangan pemberlakuan Islam. Karenanya, masuk akal untuk tidak mempertentangkan Islam dan Pancasila.
Ikhtisar
* Ide sebagian kalangan di DPR soal penyeragaman asas parpol yakni Pancasila perlu mendapat pelurusan.
* Tuduhan bahwa asas Islam dalam parpol menjadi pemicu konflik, separatisme, dan wacana perda bernuansa syariah Islam, sangat tidak beralasan.
* Fakta menunjukkan bahwa konflik, separatisme, dan wacana perda syariah justru muncul di daerah yang parpol berasas Pancasilanya kuat.
* Penyeragaman asas sangat berpotensi menurunkan partisipasi politik masyarakat.
Sumber: http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=307525&kat_id=16
Label: News
Baca Selengkapnya!